Blog Details

Featured blog image
After Class Report

Tata Kota Berkelanjutan dan Peran Desa dalam Pembangunan Nasional

Author

Zahrah

Ketimpangan antara kota dan desa masih menjadi tantangan besar dalam pembangunan di Indonesia, terutama di tengah ancaman perubahan iklim dan perubahan tata guna lahan. Isu ini menjadi sorotan dalam kelas intensif hijau Green Leadership Indonesia (GLI) Pada Sabtu, 20 September 2025. Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber. Ibu Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center for Urban Studies, membawakan materi mengenai tata kota dan ketimpangan perkotaan. Sementara itu, Bapak Mulyadin Malik dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) menyoroti arah pembangunan desa berkelanjutan. Sesi ini berlangsung dinamis dengan paparan komprehensif serta diskusi kritis dari para peserta.


Dalam paparannya, Ibu Elisa menjelaskan perbedaan mendasar antara kota dan desa. Kota lahir dari penyatuan berbagai fungsi ruang, ekonomi, pemerintahan, hunian, dan ruang publik sedangkan desa cenderung memiliki batas alami. Menurutnya, kota berkembang ke atas melalui koefisien lantai bangunan, sementara desa melebar mengikuti bentang alam. Beliau juga menyoroti fenomena kampung kota, yakni permukiman organik yang tumbuh di sela-sela kawasan formal. Kampung kota merupakan hasil migrasi dan swadaya masyarakat, tidak mengikuti aturan teknokratis pemerintah, melainkan lahir dari kesepakatan warga. Fenomena ini dapat ditemukan di berbagai kota besar seperti Jakarta, Semarang, Malang, hingga Medan.

Menurut Ibu Elisa, ketimpangan perkotaan semakin nyata terutama dalam konteks perubahan iklim. Masyarakat miskin justru paling rentan padahal mereka menghasilkan emisi sangat kecil. Sebaliknya, kelompok kaya menghasilkan emisi besar tetapi lebih terlindungi. Untuk mengatasi hal ini, ia menekankan pentingnya perencanaan kota berbasis partisipasi bermakna. Dalam sesi diskusi, beberapa Leaders menanyakan soal minimnya advokasi tata ruang berkeadilan di daerah dan sulitnya mendorong prinsip keberlanjutan dalam forum publik. Menanggapi hal tersebut, Ibu Elisa menegaskan perlunya membangun kolektif warga sebagai ruang advokasi, serta memperkuat praktik co-design dalam perencanaan. Menurutnya, konsultasi publik tidak boleh hanya sebatas formalitas, melainkan harus melibatkan warga sejak awal proses perencanaan.


Sesi berikutnya menghadirkan Bapak Mulyadin Malik. Beliau menekankan bahwa desa harus diposisikan sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Desa memiliki politik kedaulatan, politik pembangunan, dan politik literasi, sehingga masyarakat desa berhak menentukan masa depannya sendiri. Bapak Mulyadin juga memaparkan perkembangan desa berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM). Dalam enam tahun terakhir, jumlah desa sangat tertinggal menurun signifikan, sementara jumlah desa maju dan mandiri terus meningkat. Pada tahun 2025, terdapat lebih dari 17 ribu desa mandiri, yang diharapkan menjadi fondasi menuju kemandirian desa tanpa kehilangan identitasnya.

Dalam diskusi, Leaders menyoroti isu konflik lahan serta lemahnya peran desa ketika berhadapan dengan perusahaan pemegang izin yang tidak aktif mengelola lahan. Menjawab hal ini, Bapak Mulyadin menegaskan pentingnya hak subsidiaritas dan rekognisi desa. Menurutnya, desa memiliki hak hukum yang kuat, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Karena itu, desa harus diberi kewenangan penuh untuk mengatur wilayahnya sendiri.

Kelas ini menegaskan bahwa baik kota maupun desa sama-sama menghadapi tantangan besar, mulai dari ketimpangan sosial-ekonomi, perubahan tata guna lahan, hingga ancaman keberlanjutan. Namun, jalan menuju solusi terbuka melalui partisipasi bermakna, kolaborasi lintas pihak, serta keberpihakan pada masyarakat. Hanya dengan menempatkan warga sebagai pusat perencanaan dan desa sebagai subjek pembangunan, Indonesia dapat membangun ruang hidup yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.