Wajah Demokrasi Hari Ini
Istilah demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratein yang berarti kekuasaan. Secara etimologis, demokrasi dapat dimaknai sebagai sistem kekuasaan yang berada di tangan rakyat, di mana mekanisme pemerintahan mengutamakan peran utama rakyat sebagai pemilik otoritas tertinggi. Dalam sudut pandang filosofis dan sosial, demokrasi bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan satu dengan yang lain. Hal ini sejalan dengan konsep virtue atau kebajikan, sebagaimana diajarkan oleh para filsuf besar seperti Plato dan Aristoteles. Gagasan mereka menjadi fondasi dari nilai-nilai harmoni dan keseimbangan dalam tatanan pemerintahan. Secara politis, demokrasi saat ini sering dipuja layaknya penyelamat umat manusia, khususnya di negara-negara Barat, di mana suara rakyat dipandang setara dengan suara Tuhan. Sistem ini menekankan dominasi kehendak mayoritas, meskipun lebih menitikberatkan pada aspek jumlah (kuantitas) daripada mutu atau kualitas aspirasi yang disuarakan(Dedi, 2021).
Sistem demokrasi di Indonesia mengalami proses yang sangat panjang, dimulai dari awal mula pemerintahan Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan sistem demokrasi Pancasila(Dedi, 2021). Indonesia telah mengalami liberalisasi politik sejak kejatuhan Orde Baru dan menjalankan pemilu yang bebas dan kompetitif, tetapi demokrasi tersebut belum sepenuhnya substantif. Pemilihan umum merupakan wujud dari pelaksanaan demokrasi, tetapi pemilihan umum yang dilaksanakan tidak sesuai dengan harapan. Alih-alih menjadi ruang kompetisi ide dan kebijakan, pemilu di Indonesia kerap menjadi ajang jual-beli suara. Kandidat yang ingin menang, hampir dipastikan harus membayar dukungan baik kepada pemilih secara langsung maupun melalui jaringan perantara yang disebut political brokers atau tim sukses. Praktik pembelian suara (vote buying) menjadi bagian dari strategi kampanye yang dianggap wajar oleh sebagian besar aktor politik. Selain uang tunai, bentuk lain dari politik transaksional bisa berupa sembako, janji proyek, atau distribusi program sosial(Aspinall dkk., 2019). Ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pemilu menimbulkan perpecahan, dapat diambil contoh dari beberapa kasus seperti kabupaten pangandaran yang menolak hasil pemilu karena data pemilih tetapnya tidak sesuai dengan jumlah hak pilih yang ada di tempat pemungutan suara, kejadian serupa banyak terjadi di beberapa wilayah di Indonesia(Dedi, 2021).
Demokrasi Indonesia telah menjadi demokrasi yang “dijual” di mana suara pemilih, jabatan politik, dan kebijakan publik ditukar dengan sumber daya, baik dalam bentuk uang tunai, program sosial, maupun keuntungan politik dan ekonomi lainnya (Aspinall dkk., 2019). Sejak diberlakukannya otonomi daerah dan pilkada langsung, muncul fenomena oligarki lokal. Keluarga atau kelompok elite lokal memanfaatkan kekuasaan politik untuk menguasai jabatan strategis dan menciptakan politik dinasti. Dalam banyak daerah, satu keluarga dapat menguasai kursi bupati, DPRD, hingga jabatan birokrasi. Fenomena ini tidak hanya menghambat demokratisasi lokal, tetapi juga memperkuat praktik klientelisme karena kekuasaan dipertahankan dengan memanfaatkan dana publik, proyek daerah, dan bantuan sosial sebagai alat mempertahankan loyalitas politik(Aspinall dkk., 2019).
Inilah faktor-faktor yang kemungkinan besar menyebabkan kualitas demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan dari Economist Intelligence Unit (EIU), skor Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2024 berada di angka 6,44 dalam skala 0 hingga 10. Angka ini mengalami penurunan dari 6,53 pada tahun sebelumnya (2023). Secara global, posisi Indonesia menempati peringkat ke-59. Indeks yang disusun oleh EIU ini mengkaji lima aspek utama yang merefleksikan sejauh mana prinsip - prinsip demokrasi diterapkan dalam suatu negara. Kelima aspek tersebut meliputi; proses pemilu dan pluralisme, efektivitas pemerintahan, tingkat partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil (Coston, 1998).
Dari hasil penilaian, skor tertinggi Indonesia terdapat pada aspek proses pemilu dan pluralisme, yakni 7,92 poin, diikuti oleh partisipasi politik sebesar 7,22, fungsi pemerintahan dengan 6,79 poin, lalu kebebasan sipil yang hanya mencapai 5,29 poin, dan yang paling rendah adalah budaya politik dengan 5 poin. Dalam klasifikasinya, EIU membagi negara-negara menjadi empat kategori berdasarkan nilai indeks tersebut: Di atas 8: demokrasi penuh (full democracy), 6 hingga 8: demokrasi cacat (flawed democracy), 4 sampai kurang dari 6: rezim campuran (hybrid regime), 4 atau kurang: rezim otoriter (authoritarian regime).
Dengan capaian saat ini, Indonesia masih berada dalam kategori demokrasi cacat, status yang sudah melekat selama lebih dari satu dekade. Puncak tertinggi indeks dalam sepuluh tahun terakhir dicapai pada tahun 2015 dengan skor 7,03. Sejak itu, tren indeks demokrasi mengalami fluktuasi, sempat naik di tahun 2019 dan 2021, namun tak menunjukkan perubahan signifikan. Pada tahun 2024, penurunan skor ke 6,44 memperkuat posisi Indonesia dalam kelompok demokrasi cacat. Negara ini telah melaksanakan pemilu yang relatif bebas dan menjamin hak-hak sipil dasar. Namun, beberapa elemen penting demokrasi seperti kebebasan pers, kualitas pemerintahan, serta partisipasi aktif warga negara masih tergolong lemah dan menjadi tantangan yang belum terselesaikan (GoodStats, t.t.).
Tantangan utama terhadap demokrasi Indonesia hari ini yang bersumber dari krisis etika dan rendahnya akuntabilitas moral para aktor dan institusi politik. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa hadirnya oligarki dalam skala nasional maupun lokal menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik, dan pejabat cenderung memprioritaskan pengembalian modal politik mereka ketimbang pelayanan publik. Birokrasi disusupi kepentingan politik dan profesionalisme aparatur negara tergerus. Kinerja lembaga publik menjadi tidak optimal, sementara korupsi merajalela sebagai bagian dari sistem balas jasa politik. Tantangan ini menjadi kompleks ketika terelaborasikan dengan politik identitas terutama berbasis agama. Kandidat politik membangun aliansi strategis dengan tokoh agama, pesantren, atau organisasi keagamaan untuk memobilisasi massa. Dukungan tersebut dibalas dengan bantuan dana, proyek, atau posisi dalam pemerintahan. Kombinasi antara politik uang dan identitas ini menciptakan polarisasi sosial yang tajam. Praktik ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan konflik horizontal dan mengganggu kohesi sosial(Aspinall dkk., 2019).
Di satu sisi, Indonesia berhasil membangun sistem demokrasi formal yang cukup stabil dan inklusif. Namun di sisi lain, demokrasi tersebut ternoda oleh praktik-praktik transaksional yang sistemik, menjadikannya sebagai demokrasi yang dijual. meskipun demokrasi Indonesia menghadapi banyak tantangan, masih ada ruang untuk perbaikan. Dengan membangun partisipasi warga yang sadar, memperkuat institusi negara, dan mendorong partai untuk menjadi lebih demokratis secara internal, demokrasi Indonesia bisa menjadi lebih sehat, adil, dan bertanggung jawab di masa depan.
Referensi
Aspinall, E., Berenschot, W., & JSTOR (Organization). (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell University Press. Coston, J. M. (1998). A Model and Typology of Government-NGO Relationships. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 27(3), 358–382.
https://doi.org/10.1177/0899764098273006
Dedi, A. (2021). IMPLEMENTASI PRINSIP- PRINSIP DEMOKRASI DI INDONESIA. 7. GoodStats. (t.t.). Indeks Demokrasi Indonesia Turun, Jadi Posisi Ke-4 ASEAN. GoodStats. Diambil 16 Juni 2025, dari https://goodstats.id/article/indeks-demokrasi-indonesia turun-jadi-posisi-ke-4-asean-IeyD9
Rekomendasi bahan bacan
• Buku
1. Vedi R. Hadiz & Richard Robison - Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets
2. Edward Aspinall & Marcus Mietzner (eds.) - Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia
3. Yasraf Amir Piliang - Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas • Artikel Ilmiah
1. Vedi R. Hadiz (2017). “Imagine All the People? Mobilising Islamic Populism for Right-Wing Politics in Indonesia.” Journal of Contemporary Asia
2. Mietzner, Marcus (2015). “Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia.” Policy Studies
3. Aspinall, Edward (2013). “Popular Agency and Interests in Indonesia’s Democratic Transition.” Indonesia (95), 101–121.
• Artikel Populer/Opini Publik
1. Todung Mulya Lubis “Demokrasi Kita dalam Bahaya” (Kompas, 2020) 2. Abdul Gaffar Karim “Demokrasi Indonesia: Banyak Pemilu, Minim Demokrasi” (The Conversation Indonesia)
3. Saiful Mujani “Demokrasi dan Otoritarianisme Baru” (SAFEnet & SMRC Insight)
• Dokumen Resmi
1. Indeks Demokrasi Indonesia (BPS - Badan Pusat Statistik)
2. Freedom House - Freedom in the World Report (Indonesia Section) 3. The Economist Intelligence Unit - Democracy Index Report
• Visualisasi
1. Film Dokumenter Sexy Killers