Blog Details

Featured blog image
CIVIC

Kekuatan Lokal dalam Partisipasi dan Representasi Politik

Author

M. Alif Akbar

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas tentang partisipasi politik, yaitu segala bentuk aktivitas yang dilakukan warga negara dengan tujuan memengaruhi proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Keterlibatan ini dapat terwujud dalam berbagai cara, misalnya dengan memberikan suara dalam pemilu, melakukan komunikasi dengan pejabat publik atau tokoh politik untuk menyuarakan kepentingan masyarakat luas (lobbying), menjadi anggota atau pengurus organisasi yang berorientasi pada advokasi kebijakan, hingga membangun jaringan dengan pejabat negara yang kadang hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu. Bahkan, dalam beberapa kasus, partisipasi politik bisa berbentuk tindakan radikal seperti aksi kekerasan yang berusaha memengaruhi keputusan pemerintah, meski cara ini justru menimbulkan kerugian bagi manusia maupun harta benda (Miaz, 2012).

Dengan beragam bentuk partisipasi tersebut, keterlibatan warga negara tidak hanya berlangsung dalam skala nasional, tetapi juga sangat menonjol pada tingkat lokal. Pada level ini, dinamika politik justru lebih dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari karena melibatkan figur-figur yang mereka kenal langsung, seperti pejabat daerah dan elit politik lokal. Politik lokal memiliki peran yang erat kaitannya dengan kepentingan pejabat daerah dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, khususnya agar warga terdorong untuk menggunakan hak pilihnya. Keberadaan elit politik di tingkat lokal sangat dibutuhkan karena mereka berfungsi sebagai penggerak utama yang mampu mengingatkan, mendorong, dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum (Marlina et al., 2025).

Berbicara tentang politik lokal di politik Indonesia pada dasarnya berarti menelaah bagaimana otoritas sosial tokoh adat, elite lokal, dan organisasi masyarakat membentuk (dan kerap kali membatasi) jalur representasi serta partisipasi di tingkat desa, nagari, dan kabupaten/kota. Desentralisasi pasca-1999 membuka ruang kompetisi dan negosiasi baru antara institusi negara dan komunitas setempat, tonggaknya meliputi pengaturan pemerintahan daerah dan, khususnya, pengakuan atas desa/komunitas adat melalui UU Desa 2014. UU No. 6/2014 menegaskan desa sebagai subjek otonom, memberi ruang bagi penguatan kewenangan berbasis asal-usul (adat), mekanisme musyawarah desa, serta kanal akuntabilitas seperti BPD, ini adalah fondasi legal yang membuat politik lokal relevan secara formal dalam tata kelola kontemporer (UU RI, 2014).Dalam ranah tokoh dan lembaga adat, legitimasi datang dari sejarah, norma, dan kelembagaan tradisional lalu dinegosiasikan kembali dengan hukum negara. Dua konteks yang paling jelas ialah Bali dan Sumatra Barat. Di Bali, Perda Provinsi No. 4/2019 mengukuhkan desa adat (beserta struktur seperti majelis desa adat) sebagai subjek penyelenggara urusan kemasyarakatan, budaya, dan ketertiban lokal. Ketetapan ini memperjelas peran bendesa adat sebagai rujukan otoritas sehari-hari dan mitra koordinasi pemerintah daerah (UU RI, 2014). Di Sumatra Barat, kebijakan “revival” nagari setelah 1998 diformalisasi melalui Perda Prov. No. 7/2018 menempatkan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang menjalankan fungsi pemerintahan terendah berbasis adat. Sejumlah studi menunjukkan kebangkitan nagari ini bukan sekadar “menghidupkan tradisi”, melainkan re-institusionalisasi yang membawa ko-eksistensi (dan friksi) antara norma adat, birokrasi modern, dan politik elektoral lokal (Azwar et al., 2020). 

Penguatan posisi adat turut dipengaruhi putusan konstitusional, paling menonjol Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang menegaskan “hutan adat bukan lagi hutan negara”. Secara politik, ini memperbesar daya tawar komunitas adat dan pemimpin adat dalam sengketa sumber daya serta dalam proses perizinan di daerah. Namun, literatur juga mengingatkan bahwa pengakuan formal tidak otomatis menghapus ketimpangan internal (misalnya relasi gender atau klan) dan tidak kebal terhadap kooptasi elite (Tegnan, n.d.).

Politik lokal yang kemudian menjadi kekuatan lokal yang direpresentasikan oleh elite politik daerah, bupati/wali kota, anggota DPRD, pengusaha-politisi, dan patron lokal yang mengendalikan jaringan birokrasi-ekonomi. Demokratisasi elektoral memperbanyak kanal kompetisi (pilkada langsung, partai lokal/koalisi), tetapi juga memupuk praktik klientelisme, politik uang, dan dinasti politik. Riset kebijakan dan akademik menunjukkan persistensi dinasti dalam Pilkada 2020-2024 dan kaitannya dengan akses sumber daya serta lemahnya check-and-balance lokal. Bawaslu dan masyarakat sipil merespons dengan strategi pencegahan dan pendidikan pemilih, tetapi insentif strukturalnya tetap kuat (Awasia: Jurnal Pemilu dan Demokrasi, 2021). Di ruang masyarakat sipil, organisasi berbasis komunitas memainkan peran ganda kanal advokasi sekaligus “broker” partisipasi. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menjadi contoh menonjol mendorong pengakuan hak adat, litigasi strategis di MK, serta advokasi legislasi (RUU Masyarakat Adat). Laporan tahunan dan studi akademik memperlihatkan bagaimana AMAN memobilisasi jejaring lokal-nasional untuk mempengaruhi kebijakan, mengonsolidasikan identitas politik “masyarakat adat”, dan mengawal kasus-kasus perampasan wilayah (Alyanada & Iskandar, 2023).

Secara prosedural, negara juga membuka kanal partisipasi terstruktur musrenbang (termasuk e-musrenbang) dan musyawarah desa yang memberi ruang bagi warga, tokoh adat, dan ormas untuk mengajukan prioritas dan mengawasi belanja publik. Bukti dari studi tentang e-musrenbang dan tata kelola inklusif menunjukkan kanal digital ini dapat memperluas jangkauan, meski tantangan “elite capture” dan kapasitas birokrasi masih membatasi kualitas partisipasi substansial. Di banyak tempat, keberhasilan bergantung pada kolaborasi tripartite pemerintah daerah, organisasi warga/LSM, dan kepemimpinan komunitas. Pada praktiknya, tiga sumber kekuatan adat, elite, dan ormas jarang berjalan terpisah. Di nagari/desa, tokoh adat dapat menjadi penghubung warga ke proses formal (musdes/musrenbang), sementara elite elektoral mengandalkan dukungan simbolik adat dan jaringan ormas, di saat yang sama, CSO menjaga akuntabilitas dan menekan praktik klientelisme. Literatur kebijakan memperingatkan potensi kooptasi (misalnya penataan nagari yang didorong hegemoni negara atau dominasi elite lokal), sehingga desain kelembagaan perlu menguatkan transparansi, akses informasi, dan kapasitas warga agar politik lokal/kekuatan lokal benar-benar menjadi sumber representasi, bukan sekadar perpanjangan oligarki setempat. 

 

Referensi

Alyanada, A., & Iskandar, I. (2023). Peran Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam Mendukung Implementasi United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples di Indonesia. JILS (Journal of International and Local Studies), 7(1), 1–15. https://doi.org/10.56326/jils.v7i1.1848

Awasia: Jurnal Pemilu dan Demokrasi. (2021). 1(2).

Azwar, W., Hasanuddin, H., Muliono, M., Permatasari, Y., Amri, M. U., & Yurisman, Y. (2020). The Models of Nagari Indigenous Governments in West Sumatra. Jurnal Bina Praja, 12(1), 33–42. https://doi.org/10.21787/jbp.12.2020.33-42

Marlina, T. I., Dewi, S. F., & Montessori, M. (2025). Peran elit politik lokal dalam meningkatkan partisipasi pemilih pada Pilkada serentak 2020. Journal of Education, 5(2).

Miaz, Y. (2012). Partisipasi Politik Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde Baru dan Reformasi. UNP PRESS.

Tegnan, H. (n.d.). Legal Pluralism and Land Administration in West Sumatra: The Implementation of Local and Nagari Governments’ Regulations on Communal Land Tenure.

UU RI. (2014). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA. https://peraturan.bpk.go.id/Download/27840/UU%20Nomor%2006%20Tahun%202014.pdf

 

Rekomendasi bahan bacan  

  • Buku 
  1. Politik Lokal di Indonesia - Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
  2. Dinamika Sosial Politik Indonesia (Elite, Partisipasi, dan Generasi Milenial) - Dr. Rahmat Muhammad, M.Si.,
  3. Pendidikan Kewarganegaraan: Konsep & Praktik Menjadi Warga - Slamet WidodoPancasila
  • Artikel Populer/Opini Publik 
  1. 1. e-journal | Peran Elit Politik Lokal dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilih pada Pilkada 2020
  2. e-journal | Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Membangun Partisipasi Politik Untuk Mewujudkan Masyarakat MadaniSitungkir
  • Dokumen Resmi  
  1. Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Indonesia https://www.uii.ac.id/meningkatkan-partisipasi-politik-masyarakat-indonesia/?utm_source=chatgpt.com

By: M Alif Abar