Mengenal Teori-teori Besar Tentang Cara Melanggengkan Kekuasaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia
Pendahuluan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) telah menjadi penyakit kronis atau persoalan struktural yang mengakar dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia sejak masa Orde Baru hingga era reformasi. Pada periode Orde Baru (1966-998), KKN menjadi bagian dari mekanisme kekuasaan yang dilembagakan melalui sentralisasi politik, kontrol terhadap birokrasi, dan pembentukan jaringan patronase yang luas. Kekuasaan politik dipertahankan tidak hanya melalui kekuatan militer dan aparat keamanan, tetapi juga dengan membangun hubungan saling menguntungkan antara elite politik, birokrat, dan pengusaha yang berafiliasi dengan rezim (Hadiz & Robison, n.d.).
Pasca reformasi 1998, diharapkan praktik KKN dapat diberantas melalui reformasi institusional, desentralisasi, dan pembentukan lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, faktanya, desentralisasi justru memunculkan bentuk paraktik baru dari KKN di tingkat daerah melalui politik dinasti, penguasaan sumber daya lokal oleh elite politik, dan politik uang dalam pemilihan kepala daerah. Fenomena ini menunjukkan bahwa KKN tidak hanya merupakan masalah perilaku individu, tetapi bersifat sistemik dan berhubungan erat dengan strategi melanggengkan kekuasaan. Hingga saat ini, berbagai skandal korupsi besar, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada akhir Orde Baru, kasus e-KTP pada era reformasi, hingga praktik nepotisme dalam pengangkatan pejabat publik, seperti kasus kontroversial proses pencalonan Gibran sebagai wakil presiden, ini memperlihatkan bahwa KKN masih menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Situasi ini menegaskan perlunya pendekatan teoritis yang komprehensif untuk memahami pola dan mekanisme KKN, sehingga dapat dirumuskan strategi efektif untuk mengatasinya (Hardiantoro, 2023).
Teori Elitisme (Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, C. Wright Mills)
Kecenderungan KKN yang bersifat sistemik ini tidak dapat dipahami secara utuh hanya melalui sudut pandang hukum atau moralitas individu semata, melainkan perlu dianalisis menggunakan kerangka teoritis yang mampu menjelaskan bagaimana kekuasaan dipertahankan dan dijalankan oleh kelompok tertentu. Salah satu pendekatan yang relevan adalah Teori Elitisme yang dikembangkan oleh pemikir seperti Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan C. Wright Mills. Teori ini menyoroti bahwa dalam setiap sistem politik, terdapat kelompok kecil atau elite yang menguasai sumber daya strategis dan jaringan politik, serta menggunakan posisi tersebut untuk melanggengkan dominasinya di tengah masyarakat.
Istilah “Elite” berasal dari bahasa latin yang memiliki makna memilih atau memilah, penggunaan istilah ini untuk pertama kali diterapkan pada administrasi militer sebagai pilihan orang, kemudian berkembang pada abad ke-15 dengan makna standar keunggulan, hingga akhirnya memiliki makna kelompok sosial yang lebih besar seperti unit militer yang sangat Berjaya dan jajaran bangsawan tinggi (Sakharam Tonde, n.d.). Menurut Pareto, kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berada di tangan segelintir individu yang memiliki kemampuan khusus untuk mengendalikan kekuatan sosial dan politik. Mereka yang berhasil mencapai posisi puncak dalam struktur sosial dan politik dianggap sebagai kelompok terbaik dari yang terbaik. Kelas elite ini mencakup seluruh individu yang meraih kesuksesan di berbagai bidang, mulai dari profesi terhormat seperti pengacara, dokter, dan ilmuwan, hingga profesi yang dipandang negatif seperti pencuri dan pekerja seks komersial (Sakharam Tonde, n.d.).
Dalam konteks Indonesia, teori ini menjelaskan bagaimana praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi salah satu mekanisme yang digunakan elite untuk mempertahankan dominasinya. Pergantian rezim dari Orde Baru ke era Reformasi memang melahirkan elite baru, namun proses sirkulasi elite tersebut tidak serta-merta menghapus pola lama. Elite politik dan ekonomi tetap memanfaatkan jabatan, akses sumber daya, dan jaringan loyalis untuk mempertahankan kekuasaan, sering kali melalui distribusi proyek, pengangkatan pejabat berdasarkan hubungan keluarga atau kedekatan politik, serta manipulasi regulasi demi keuntungan kelompok tertentu. Dengan demikian, KKN berfungsi bukan sekadar sebagai penyimpangan hukum, tetapi juga sebagai alat strategis bagi elite untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan kekuasaan mereka di tengah perubahan politik.
Antonio Gramsci dan Teori Hegemoni
Antonio Gramsci, seorang filsuf dan aktivis politik Italia dari awal abad ke-20, memperkenalkan konsep hegemoni untuk menjelaskan bagaimana kelas penguasa mempertahankan dominasinya bukan hanya melalui paksaan (coercion), tetapi juga melalui pembentukan kesadaran dan persetujuan (consent) masyarakat. Menurut Antonio Gramsci, inti dari filsafat praksis modern yang mengaitkan pemikiran dengan tindakan terletak pada konsep hegemoni dalam filsafat sejarah. Hegemoni dipahami sebagai bentuk kepemimpinan kultural yang dijalankan oleh kelompok berkuasa . Kepemimpinan budaya ini dijalankan oleh ruling class sebagai bagian dari filsafat praksis. Gramsci menekankan bahwa perubahan sosial tidak dapat dicapai hanya melalui paksaan (coercion) yang mengandalkan kekuasaan dan aparatus negara. Sebaliknya, perubahan harus dilakukan melalui pengaruh ideologis yang secara berkesinambungan ditanamkan oleh kelompok intelektual terhadap pihak oposisi. Melalui proses ini, oposisi akan terdorong untuk mengambil sikap konformis, yakni menyesuaikan diri dengan norma dan nilai yang ditetapkan oleh penguasa. Sikap ini dilihat sebagai strategi terbaik bagi mereka untuk bertahan hidup dan mencapai kesejahteraan . Dominasi ide konformis yang tidak lagi dipertanyakan inilah yang menunjukkan mekanisme kerja hegemoni, yang pada akhirnya mampu mereproduksi tatanan sosial tertentu secara berkelanjutan (Fariyah, 2013).
Dalam pandangan Gramsci, kekuasaan yang hanya bertumpu pada kekuatan fisik atau aparat represif tidak akan bertahan lama, sebaliknya kekuasaan yang efektif adalah yang berhasil membuat nilai, norma, dan pandangan hidup kelas penguasa diterima secara sukarela oleh kelas yang dikuasai sebagai sesuatu yang wajar dan sah. Proses ini dijalankan melalui pengaruh terhadap institusi budaya, media, pendidikan, agama, dan kebijakan publik yang membentuk common sense atau “akal sehat” masyarakat. Dalam konteks KKN di Indonesia, teori hegemoni menelanajangi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, KKN tidak selalu dipandang sebagai pelanggaran serius oleh sebagian masyarakat. Elite politik menggunakan jaringan media, wacana publik, dan simbol-simbol budaya untuk menormalisasi praktik ini. Misalnya, pengangkatan kerabat atau rekan dekat ke posisi strategis sering dibungkus dengan narasi kepercayaan, solidaritas keluarga, atau kemampuan bekerja sama karena “sudah saling mengenal.” Di tingkat lokal, pembagian proyek kepada pendukung politik kerap dianggap sebagai bentuk “balas budi” atau “bagi hasil” yang justru diapresiasi oleh basis massa. Hal ini menunjukkan bahwa KKN bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan ideologis yang membentuk persepsi public (Siswati, 2018).
Hegemoni ini membuat pemberantasan KKN menjadi sangat sulit, karena perlawanan terhadapnya tidak hanya membutuhkan penegakan hukum, tetapi juga perubahan kesadaran sosial. Sebagaimana Gramsci tekankan, dominasi kultural dan ideologis harus dihadapi dengan counter-hegemony, yakni penciptaan narasi tandingan yang mengedepankan nilai meritokrasi, transparansi, dan integritas publik. Tanpa upaya ini, pemberantasan KKN akan selalu terbentur pada penerimaan kultural yang menganggap praktik tersebut sebagai hal lumrah dalam politik Indonesia.
Max Weber dan Tipe Kekuasaan
Max Weber, merupakan seorang sosiolog Jerman terkemuka, mengklasifikasikan kekuasaan menjadi tiga tipe ideal: tradisional, karismatik, dan legal rasional. Kekuasaan tradisional didasarkan pada keyakinan terhadap adat, kebiasaan, dan warisan yang dianggap sah secara turun-temurun. Kekuasaan karismatik bersumber dari pesona pribadi atau kemampuan luar biasa seorang pemimpin yang menginspirasi pengikutnya. Sementara itu, kekuasaan legal-rasional bersandar pada sistem hukum yang rasional, impersonal, dan didukung oleh birokrasi profesional.
Kekuasaan dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk melakukan tindakan atau memengaruhi suatu keadaan. Dalam konteks ini, kekuasaan berkaitan erat dengan konsep agency, yaitu kapasitas individu atau kelompok untuk menciptakan perubahan atau perbedaan di dunia. Kekuasaan juga mencakup kapasitas yang sah secara hukum, kewenangan, atau otoritas untuk bertindak, terutama dalam hal pendelegasian wewenang. Pemaknaan ini menekankan bahwa kekuasaan merupakan hak atau otoritas yang, bagi sebagian pihak, memerlukan legitimasi dari pihak lain untuk menjalankan segala sesuatu yang mereka anggap berada dalam lingkup kewenangannya. Dalam perspektif Weber, modernisasi politik seharusnya mengarah pada dominasi kekuasaan legal-rasional, karena model ini memberikan kepastian hukum, mencegah penyalahgunaan wewenang, dan menjamin rekrutmen pejabat berdasarkan merit. Namun, di Indonesia, penerapan prinsip legal-rasional sering kali belum sepenuhnya mapan, sehingga kekuasaan tradisional dan karismatik masih berperan besar. Politik dinasti merupakan bentuk kekuasaan tradisional dalam politik modern, di mana jabatan publik secara informal diwariskan kepada anggota keluarga atau kerabat dekat. Kekuasaan karismatik terlihat ketika figur tertentu mampu membangun loyalitas personal yang kuat, sehingga pengangkatan pejabat atau pemberian proyek lebih mempertimbangkan kesetiaan daripada kompetensi (Risvandi & Andri, 2022).
Kondisi ini menciptakan lahan subur bagi praktik KKN. Kekuasaan tradisional memungkinkan nepotisme berkembang karena jabatan dilihat sebagai “warisan” yang sah. Kekuasaan karismatik mendorong terbentuknya lingkaran loyalis yang memanfaatkan kedekatan pribadi untuk mendapatkan keuntungan. Lemahnya supremasi hukum membuat kekuasaan legal-rasional tidak mampu mengoreksi dua bentuk kekuasaan ini secara efektif. Akibatnya, kolusi dan nepotisme menjadi bagian dari mekanisme operasional kekuasaan, dan korupsi berfungsi sebagai “pelumas” untuk menjaga solidaritas dalam jaringan politik yang dibangun.
John Locke dan Kontrak Sosial
John Locke, salah satu pemikir paling berpengaruh dalam tradisi liberalisme, Konsep keadaan alamiah (state of nature) menjadi landasan utama pemikiran sosial-politik John Locke. Dalam pandangan Locke, keadaan alamiah adalah situasi di mana setiap individu hidup berdampingan tanpa keberadaan otoritas politik formal. Locke menggambarkan manusia dalam keadaan alamiah sebagai makhluk yang bebas, setara, dan merdeka, dengan hak penuh atas dirinya sendiri tanpa tunduk pada otoritas pihak lain. Kondisi tersebut pada dasarnya bersifat positif, manusia mencintai perdamaian, mampu membangun hubungan sosial, dan memiliki hak-hak alamiah seperti kebebasan, kehidupan, dan kepemilikan. Dalam keadaan ini, setiap individu memanfaatkan sumber daya alam sesuai kebutuhannya secara wajar, tanpa berlebihan. Locke menegaskan bahwa kehidupan alamiah ini diatur oleh hukum moral atau hukum alam yang menjadi pedoman dalam menjaga keteraturan. Pengalaman memegang peranan penting dalam pembentukan pengetahuan dan identitas manusia, sehingga, menurut Locke, sifat dasar manusia yang baik akan mendorong terbentuknya masyarakat yang adil dan sejahtera melalui kesepakatan bersama (Darussalam et al., 2024).
Namun, Locke juga mengakui bahwa keadaan alamiah memiliki kelemahan mendasar. Tidak adanya sistem hukum yang pasti dan otoritas hakim yang adil berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan konflik, baik antarindividu maupun secara kolektif. Ketika setiap orang menegakkan hukum alam sesuai versinya sendiri, keamanan menjadi rentan, terutama ketika berhadapan dengan pihak yang memiliki kekuatan lebih besar. Selain itu, dorongan manusia untuk bekerja tidak hanya demi bertahan hidup tetapi juga untuk mengakumulasi kekayaan melebihi orang lain, berpotensi menciptakan ketidaksetaraan dan ketegangan sosial. Berdasarkan pemikiran tersebut, Locke berpendapat bahwa manusia memerlukan negara sebagai hasil dari sebuah perjanjian sosial (social contract). Negara berfungsi menjamin dan mengatur hak-hak alamiah setiap individu termasuk hak hidup, hak kepemilikan, dan hak kebebasan serta menyediakan hukum dan otoritas yang sah untuk menjaga keteraturan dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat(Darussalam et al., 2024). teori kontrak sosial yang menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan pemerintah bersumber dari persetujuan rakyat (consent of the governed). Menurut Locke, tujuan utama pembentukan pemerintah adalah melindungi hak-hak alamiah manusia hak atas hidup (life), kebebasan (liberty), dan kepemilikan (property). Pemerintah yang melanggar prinsip ini atau menyalahgunakan kekuasaan tidak lagi memiliki legitimasi, dan rakyat berhak untuk menolak, bahkan mengganti pemerintahan tersebut .
Dari sudut pandang Locke, KKN di Indonesia merupakan pelanggaran langsung terhadap kontrak sosial. Ketika pejabat publik menggunakan wewenang mereka untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, atau kelompok tertentu, mereka mengkhianati mandat yang diberikan oleh rakyat. Alih-alih melindungi kepentingan publik, mereka justru mengorbankannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Praktik seperti penggelapan anggaran, penyuapan, atau pengangkatan pejabat tanpa proses seleksi yang adil adalah bentuk pengabaian terhadap hak rakyat untuk mendapatkan pemerintahan yang bersih dan efektif. Kaitan ini semakin jelas ketika melihat dampak KKN terhadap kehidupan warga. Korupsi dalam proyek infrastruktur, misalnya, sering menghasilkan pembangunan yang berkualitas rendah, membahayakan keselamatan, dan menghamburkan uang rakyat. Kolusi dan nepotisme dalam birokrasi menghalangi kesempatan yang setara bagi warga negara untuk mendapatkan pekerjaan atau pelayanan publik yang berkualitas. Dalam perspektif Locke, kondisi ini menciptakan krisis legitimasi, karena pemerintah tidak lagi menjalankan tujuan fundamentalnya.
Referensi
Hardiantoro, A. (2023, Oktober 23). Media internasional soroti Gibran jadi bacawapres: Nepotisme, dinasti politik, dan cedera proses demokrasi. Kompas.com. (https://www.kompas.com/tren/read/2023/10/23/123000265/media-internasional-soroti-gibran-jadi-bacawapres--nepotisme-dinasti)
Darussalam, F. I., Batara Indra, A., & Rahman, S. (2024). MEDIA Jurnal Filsafat dan Teologi Hakikat Manusia dan Relevansinya terhadap Isu-isu Kemanusiaan: Analisis Komparatif Filsafat Politik Thomas Hobbes dan John Locke. 5(2). https://doi.org/10.53396/media
Fariyah, I. M. D. (2013). Hegemoni Antonio Gramsci: Sejarah dan Perkembangannya dalam Ranah Antropologi. Antropologi Indonesia, 32(2). https://doi.org/10.7454/ai.v32i2.2115
Hadiz, V. R., & Robison, R. (n.d.). The Political Economy of O ligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia.
Risvandi, & Andri, A. (2022). Teori Kekuasaan.
Sakharam Tonde, B. (n.d.). Comparative Analysis of Elite Theories of Wilfred Pareto and Gaetano Mosca. In Aayushi International Interdisciplinary Research Journal (AIIRJ. www.aiirjournal.com
Siswati, E. (2018). ANATOMI TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI. Translitera : Jurnal Kajian Komunikasi Dan Studi Media, 5(1), 11–33. https://doi.org/10.35457/translitera.v5i1.355
Rekomendasi bahan bacan
- Buku
- Robert A. Dahl – Who Governs? Democracy and Power in an American City
- Michel Foucault – Power/Knowledge
- Antonio Gramsci – Selections from the Prison Notebooks
- Richard Robison & Vedi Hadiz – Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2004)
- George Junus Aditjondro – Korupsi Kepresidenan (2006)
- Teten Masduki (ed.) – Korupsi Mengorupsi Indonesia (2002)
- Todung Mulya Lubis – In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966–1990
- Artikel Ilmiah
- "The Rise and Fall of Suharto" – Journal of Democracy
- "Corruption in Indonesia: A Historical and Contextual View" – Asian Survey
- "Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia" – Cornell Southeast Asia Program
- Artikel Populer/Opini Publik
- "Bagaimana Kekuasaan Dipertahankan?" – The Conversation Indonesia
- "Mengapa KKN Tetap Subur di Indonesia?" – Tirto.id
- "Kekuasaan yang Tidak Terbatas: Cermin dari Reformasi yang Setengah Hati" – Kompas.id
- "KPK dan Perlawanan terhadap Korupsi" – Tempo.co
By: M Alif Abar