Blog Details

Featured blog image
CIVIC

Sistem Hukum Hak, Kewajiban, dan Keterlibatan Warga Negara Dalam Konstitusi

Author

M. Alif Akbar

Sistem hukum dalam suatu negara tidak dapat dipahami hanya sebagai kumpulan norma dan peraturan yang kaku, melainkan juga harus dilihat sebagai representasi dari nilai- nilai moral yang hidup dalam masyarakat. Di Indonesia, sistem hukum lahir dari pergulatan historis dan nilai-nilai filosofis bangsa, termasuk nilai-nilai Pancasila dan amanat konstitusi UUD 1945. Konstitusi tidak hanya menjadi pedoman normatif bagi jalannya pemerintahan, tetapi juga merupakan kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Sebagaimana dijelaskan oleh (Asshiddiqie, S.H., 2005), hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia harus mampu mencerminkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran. Jika di kaji lebih dalam sistem hukum juga berkaitan erat dengan kesadaran warga negara dalam menjalankan hak dan kewajibannya secara etis. Hak bukan sekadar instrumen untuk menuntut, dan kewajiban bukan semata kewajiban formal, melainkan keduanya merupakan ekspresi dari kehidupan kolektif yang berlandaskan tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, peran warga negara dalam menegakkan hukum yang adil dan demokratis menjadi sangat penting. Sebagaimana dinyatakan oleh (Indrayana, 2008), Amandemen UUD 1945 telah memperluas jaminan hak-hak konstitusional, namun hal ini perlu diiringi dengan penguatan kesadaran kewargaan dan partisipasi aktif dalam sistem hukum.

Hukum sebagai refleksi moral masyarakat

Hukum dalam pengertian substantif tidak pernah berdiri netral. Ia lahir dari suatu proses sosial, politik, dan budaya yang mengandung muatan nilai tertentu. (Wignjosoebroto, 2002) dalam bukunya yang berjudul “Hukum : Paradigma Metode Dan Dinamika Masalahnya”, menjelaskan bahwa hukum bukan hanya sekadar norma positif yang ditegakkan oleh aparat negara, tetapi juga bagian dari nilai-nilai kolektif yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang baik harus merepresentasikan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan. Pemikiran tersebut juga sejalan dengan konsep moralitas konstitusional yang dikembangkan oleh (Asshiddiqie, 2006), yang menekankan bahwa hukum harus dipahami dalam konteks keadilan substantif. Dalam sistem hukum Indonesia, nilai-nilai Pancasila, khususnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus menjadi rujukan utama dalam merancang dan menegakkan hukum. Artinya, hukum tidak boleh berhenti pada prosedur legalistik, tetapi harus melampaui dan menyentuh dimensi etis yang mendalam.

Contoh konkret dari penerapan nilai moral dalam hukum dapat dilihat dalam prinsip equality before the law yang termuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap warga negara berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, tanpa diskriminasi apapun. Namun dalam praktiknya, banyak kasus ketidaksetaraan hukum yang menunjukkan bahwa prinsip tersebut belum sepenuhnya terwujud. Hal ini menjadi indikator penting bahwa hukum yang baik bukan hanya harus adil secara formil, tetapi juga substantif. Kemudian, pendekatan hukum yang bermoral juga harus mampu menjawab tantangan zaman. Dalam era globalisasi dan digitalisasi, hukum dihadapkan pada persoalan baru seperti pelanggaran data pribadi, disinformasi, dan kejahatan transnasional. Oleh karena itu, pembaruan hukum tidak boleh hanya bersifat normatif, tetapi juga harus menyesuaikan diri dengan perkembangan nilai-nilai baru dalam masyarakat, termasuk nilai kebebasan, transparansi, dan tanggung jawab sosial (DPD Ajukan Uji Materi, n.d.).

Hak dan Kewajiban Warga Negara Dalam Kesadaran Etis

Hak dan kewajiban warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 bukan hanya konsep yuridis formal, tetapi juga memiliki makna etis yang dalam. Pasal 28A hingga 28J UUD 1945 merinci berbagai hak asasi manusia, dari hak hidup, hak atas rasa aman, hingga kebebasan berpendapat (Omara, 2022). Perlu kesadaran bahwa hak-hak ini tidak dapat dijalankan secara mutlak tanpa memperhatikan batasan moral, hukum, dan hak orang lain. Pemahaman tentang hak tidak boleh berhenti pada klaim individualistik. Dalam masyarakat yang plural dan demokratis, pelaksanaan hak harus mempertimbangkan kepentingan bersama dan solidaritas sosial. Misalnya, kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) harus tetap tunduk pada batasan yang ditentukan oleh hukum dan etika publik agar tidak melanggar martabat dan hak orang lain (Indrayana, 2008).

Sebaliknya, kewajiban warga negara pun tidak hanya terbatas pada aspek legal seperti membayar pajak saja. Ia mencakup tanggung jawab moral untuk menjaga ketertiban umum, menghargai perbedaan, dan ikut serta dalam pembangunan bangsa. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa "setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara," yang berarti tanggung jawab untuk menjaga keutuhan nasional adalah bagian dari kesadaran kewargaan. Kesadaran etis dalam menjalankan hak dan kewajiban berarti menempatkan diri sebagai bagian dari komunitas. Pendidikan kewarganegaraan yang ideal adalah yang menumbuhkan empati, tanggung jawab sosial, dan kemampuan bernegosiasi dalam ruang publik. Tanpa kesadaran kolektif, hak akan berubah menjadi alat dominasi, dan kewajiban menjadi beban tanpa makna.

Penting pula menekankan bahwa hak dan kewajiban tidak bersifat dikotomis atau antagonistik, melainkan saling melengkapi. Dalam praktiknya, menuntut hak harus disertai kesiapan menjalankan kewajiban. Seorang warga yang menuntut pelayanan publik berkualitas, misalnya, harus pula bersedia membayar pajak dan mengikuti proses demokrasi secara aktif. Etika kewargaan semacam ini yang menjadi fondasi dari negara hukum yang adil dan beradab.

Kepekaan Terhadap Ketimpangan Hukum dan Ketidakadilan Struktural

Ketimpangan dalam penegakan hukum merupakan salah satu tantangan utama bagi sistem hukum Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa hukum kerap kali berpihak pada kelompok yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya. Bahwa dalam banyak kasus, hukum menjadi alat legitimasi bagi praktik ketidakadilan struktural, di mana kelompok marginal seperti petani, buruh, dan masyarakat adat menjadi korban kebijakan negara yang tidak adil. Contoh konkret dari ketimpangan hukum adalah praktik kriminalisasi terhadap pembela HAM atau warga yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan hidup (Lubis, 1981). Banyak di antara mereka yang dipidanakan melalui pasal- pasal karet seperti pasal pencemaran nama baik atau penghasutan. Padahal, tindakan mereka sejatinya merupakan bentuk partisipasi warga dalam demokrasi. Dalam konteks ini, keberpihakan hukum terhadap status quo bukan hanya kesalahan teknis administratif, melainkan persoalan etika dan keadilan.

Mahkamah Konstitusi pernah membuktikan bahwa ketidakadilan struktural bisa dilawan melalui jalur konstitusional. Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016, misalnya, mengoreksi diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan yang selama ini tidak diakui dalam kolom agama di KTP. Dengan putusan ini, MK menegaskan bahwa setiap warga negara, terlepas dari kepercayaan yang dianutnya, berhak atas pengakuan hukum dan pelayanan administratif yang setara.

Kesadaran terhadap ketimpangan hukum perlu dikembangkan dalam pendidikan hukum dan kewarganegaraan. Warga negara harus dibekali kemampuan untuk mengenali ketidakadilan, membangun solidaritas lintas kelompok, dan mengorganisasi diri dalam forum- forum advokasi. Pendidikan semacam ini tidak hanya mendidik warga untuk taat hukum, tetapi juga menjadi aktor perubahan hukum. Kepekaan etis terhadap ketimpangan hukum merupakan elemen penting dalam pembentukan warga negara kritis. Tanpa kepekaan ini, hukum hanya akan direproduksi sebagai alat dominasi elite. Maka dari itu, negara harus mendorong mekanisme partisipatif dalam penyusunan regulasi dan membuka ruang litigasi strategis bagi kelompok rentan untuk memperjuangkan keadilan. Partisipasi warga negara dalam sistem hukum dan demokrasi bukan hanya hak politik, tetapi juga kewajiban moral untuk menjaga keberlangsungan negara hukum yang adil dan demokratis. Dalam demokrasi konstitusional, kekuasaan negara tidak mutlak karena dibatasi oleh hukum dan prinsip hak asasi manusia. Oleh sebab itu, keterlibatan warga dalam proses legislasi, pengawasan kekuasaan, dan penegakan hukum menjadi penopang utama prinsip checks and balances.

Salah satu bentuk partisipasi yang paling konkret adalah melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa kasus, warga negara dan kelompok masyarakat sipil telah mengajukan uji materi terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Misalnya, Putusan MK No. 006/PUU-III/2005 yang memperbolehkan calon independen dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan bahwa keterlibatan warga bisa menghasilkan perubahan hukum yang progresif dan lebih demokratis (Asshiddiqie, 2006).

Di luar proses formal, keterlibatan warga juga dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan advokasi kebijakan, forum warga, atau pelaporan pelanggaran hukum melalui jalur administratif dan yudisial. Partisipasi warga tidak boleh dibatasi hanya dalam bilik suara setiap lima tahun, tetapi harus melembaga dalam ruang- ruang deliberatif yang memungkinkan suara publik mempengaruhi pengambilan keputusan politik dan hukum. Namun demikian, partisipasi warga yang bermakna memerlukan kondisi struktural yang memungkinkan. Negara perlu menciptakan ruang partisipasi yang inklusif, aman, dan berkeadilan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, dan difabel. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (jo. UU No. 13 Tahun 2022) mewajibkan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, tetapi implementasinya masih menghadapi tantangan serius dalam hal keterbukaan dan aksesibilitas.

Dengan demikian, partisipasi warga dalam sistem hukum dan demokrasi bukan hanya instrumen prosedural, melainkan juga ekspresi nilai-nilai etis seperti integritas, kejujuran, dan kepedulian terhadap kepentingan umum. Tanpa keterlibatan aktif warga, demokrasi hanya akan menjadi formalitas yang tidak mampu mewujudkan keadilan substantif dalam masyarakat.Sistem hukum yang ideal adalah sistem yang terbuka terhadap evaluasi dan koreksi. Sikap kritis terhadap praktik hukum yang menyimpang merupakan bagian dari tanggung jawab etis warga negara. Soetandyo Wignjosoebroto (2013) menjelaskan bahwa   hukum sebagai institusi sosial tidak bebas dari kekuasaan dan kepentingan, sehingga praktik penyimpangan hukum kerap kali terjadi dalam bentuk korupsi yudisial, penyalahgunaan wewenang, hingga ketimpangan perlakuan hukum.

Sikap kritis ini penting terutama dalam konteks pengawasan terhadap lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Warga negara harus berani menyuarakan kritik terhadap regulasi yang diskriminatif, keputusan pengadilan yang tidak adil, atau kebijakan publik yang merugikan kelompok tertentu. Dalam negara demokratis, kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan merupakan salah satu pilar kontrol sosial yang sah (UUD 1945 Pasal 28E ayat (3)). Praktik penyimpangan hukum tidak hanya terjadi dalam tataran institusional, tetapi juga dalam budaya hukum itu sendiri. Budaya permisif terhadap pelanggaran hukum, toleransi terhadap suap, atau pembiaran atas ketidakadilan merupakan bagian dari patologi sosial yang harus dilawan. Dalam hal ini, peran pendidikan hukum dan media massa menjadi sangat penting dalam membentuk opini publik yang sadar hukum dan kritis.

 

Referensi 

Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi (Membangun Konstitusionalitas Indonesia, Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume 3 Nomor 4.

Asshiddiqie, S.H., Prif. Dr. J. (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press.

DPD Ajukan Uji Materi. (n.d.). Retrieved October 21, 2025, from https://nasional.kompas.com/read/2008/04/12/12210541/index-html

Indrayana, D. (2008). Negara antara ada dan tiada: Reformasi hukum ketatanegaraan. Penerbit Buku Kompas.

Lubis, T. mulya. (1981). Hak Asasi Manusia dan Kita. Sinar Harapan.

Omara, A. (2022). Hak Konstitusional Warga Negara.

Wignjosoebroto, Soetandyo. (2013). Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam.