HAM (Peran Warga Negara dalam Melindungi HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM), kita akan mencoba memahami makna dari istilah “hak asasi” secara terpisah. Kata hak sendiri memiliki beragam pengertian, antara lain sebagai sesuatu yang benar, kewenangan, atau kekuasaan yang sah untuk melakukan maupun menuntut sesuatu. Sementara itu, istilah asasi merujuk pada hal-hal yang bersifat pokok, mendasar, mutlak, atau prinsipil. Dengan demikian, hak asasi manusia dapat dimaknai sebagai hak-hak dasar yang secara kodrati dimiliki oleh setiap individu, misalnya hak untuk hidup, berbicara, dan memperoleh perlindungan. Karena sifatnya yang fundamental, HAM dipandang sebagai hak yang tidak dapat dicabut atau dihapuskan oleh siapa pun. Oleh sebab itu, negara berkewajiban memberikan jaminan serta perlindungan, dan setiap pelanggaran terhadapnya harus disertai dengan sanksi tegas. Selanjutnya, istilah HAM sendiri berasal dari terjemahan berbagai bahasa. Dalam bahasa Prancis dikenal dengan droits de l’homme yang berarti hak manusia, dalam bahasa Inggris disebut human rights, sementara dalam bahasa Belanda digunakan istilah menselijke rechten. Hak-hak ini pada dasarnya melekat pada diri manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ia merupakan anugerah ilahi yang menjadikan martabat manusia bersifat luhur dan suci (Kusnadi, n.d.).
Konsep hak asasi manusia (HAM) pada mulanya lebih menitikberatkan pada hubungan vertikal, yaitu antara negara dengan rakyatnya. Hal ini dipengaruhi oleh sejarah panjang pelanggaran HAM yang justru banyak dilakukan oleh negara terhadap hak-hak sipil , hak ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh sebab itu, sebagai penyelenggara kekuasaan, pemerintah memikul tanggung jawab utama dalam menjamin perlindungan hak asasi warga negaranya. Pandangan ini tergambar dengan jelas dalam beberapa instrumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) (Khairunnisa, 2018).
Dalam kerangka rights-based approach atau pendekatan berbasis HAM, kewajiban negara dikategorikan dalam tiga bentuk. Pertama, kewajiban untuk menghormati (to respect), yakni larangan bagi negara untuk mengintervensi warga negaranya dalam menjalankan hak-hak mereka. Dengan kata lain, negara tidak boleh melakukan tindakan yang justru menghalangi pemenuhan HAM. Kedua, kewajiban untuk melindungi (to protect), yaitu kewajiban negara bersikap aktif dengan menjamin perlindungan terhadap hak-hak warga. Negara harus mencegah terjadinya pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, baik individu, kelompok, maupun institusi. Ketiga, kewajiban untuk memenuhi (to fulfill), yang berarti negara harus mengambil langkah nyata baik melalui kebijakan hukum, kebijakan administratif, alokasi anggaran, maupun tindakan lainnya agar seluruh hak asasi manusia dapat terwujud secara menyeluruh.
Ketiga kewajiban tersebut mencakup dua unsur penting, yaitu kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) dan kewajiban untuk menghasilkan dampak (obligation to result). Obligation to conduct menuntut negara melakukan upaya nyata dalam melaksanakan pemenuhan hak, sementara obligation to result mengharuskan negara mencapai hasil yang terukur sesuai standar substansial HAM. Selain tiga kewajiban utama tadi, negara juga dituntut untuk mengambil berbagai langkah tambahan, seperti menjamin (to guarantee), memastikan (to ensure), mengakui (to recognize), berupaya (to undertake), serta memajukan (to promote) hak asasi manusia.
Dalam perkembangan hukum HAM internasional, terdapat beberapa prinsip mendasar yang harus menjadi pijakan. Pertama, prinsip kesetaraan (equality), prinsip ini menegaskan bahwa setiap orang terlahir bebas dan setara dalam hak asasi. Perlakuan yang sama harus diberikan pada kondisi yang sama, sementara pada situasi berbeda harus ada perlakuan berbeda pula. Dari prinsip inilah muncul konsep tindakan afirmatif (affirmative action), yaitu perlakuan khusus bagi kelompok tertentu yang berada pada posisi lemah agar dapat mengejar ketertinggalannya. Namun, tindakan afirmatif hanya bersifat sementara dan harus dihentikan apabila kesetaraan telah tercapai.
Kedua, prinsip non-diskriminasi (non-discrimination), apabila semua orang dianggap setara, maka perlakuan diskriminatif tidak dibenarkan, kecuali dalam konteks afirmatif tadi. Diskriminasi sendiri dapat berbentuk langsung maupun tidak langsung. Diskriminasi langsung terjadi ketika seseorang secara nyata diperlakukan berbeda, sementara diskriminasi tidak langsung muncul ketika suatu aturan atau praktik hukum tampak netral tetapi berakibat diskriminatif. Ketiga, prinsip keterkaitan dan ketergantungan (interdependence). Pemenuhan suatu hak kerap tidak bisa dilepaskan dari pemenuhan hak lainnya. Artinya, realisasi satu hak sering kali bergantung pada hak lain, baik secara sebagian maupun menyeluruh.
Keempat, prinsip inalienable, prinsip ini menekankan bahwa HAM bersifat tidak dapat dicabut, dipindahkan, atau dirampas oleh siapa pun dengan alasan apa pun. Hak-hak ini melekat pada martabat manusia dan tidak bisa dipertukarkan dengan hal lain. Kelima, prinsip indivisibility, prinsip ini merupakan pengembangan dari prinsip keterkaitan. Semua hak, baik sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya, bersifat tidak terpisahkan. Mengabaikan satu jenis hak akan berdampak pada terabaikannya hak-hak lain. Keenam, prinsip universalitas (universality). Prinsip ini menegaskan bahwa HAM berlaku untuk setiap manusia tanpa memandang tempat tinggal, bangsa, agama, atau latar belakangnya. HAM bersifat universal dan berlaku di seluruh belahan dunia.
Terakhir, prinsip martabat manusia (human dignity). Hak asasi merupakan anugerah yang melekat pada diri manusia karena martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Oleh sebab itu, setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain, membangun kehidupan yang damai dalam keberagaman, serta menumbuhkan sikap saling menghargai (Khairunnisa, 2018).
Dalam konteks Indonesia, HAM dipahami tidak hanya sebagai instrumen hukum, tetapi juga bagian dari cita-cita nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. HAM di Indonesia berkembang seiring perjalanan sejarah politik dan hukum. Jika pada masa Orde Lama dan Orde Baru ruang demokrasi cenderung terbatas, maka setelah Reformasi 1998 terjadi perubahan signifikan dengan lahirnya instrumen hukum baru yang lebih menjamin perlindungan HAM
2. Dasar Hukum HAM di Indonesia
HAM di Indonesia diatur melalui berbagai instrumen hukum, baik dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan:
- UUD 1945 (Amandemen)
Pasal 28A-28J: memuat jaminan hak-hak dasar warga negara, mulai dari hak hidup, hak berkeluarga, hak memperoleh pendidikan, hak berkomunikasi, hak atas rasa aman, hingga hak atas keadilan. Kemudian Pasal 28I ayat (1): menegaskan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), seperti hak hidup, hak tidak disiksa, kebebasan beragama, hak tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Merupakan instrumen hukum khusus yang mengatur definisi, ruang lingkup, dan mekanisme penegakan HAM di Indonesia. UU ini menegaskan bahwa HAM bersumber dari nilai moral, agama, budaya, dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Membentuk mekanisme khusus untuk mengadili pelanggaran HAM berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengatur peran pengadilan ad hoc serta keterlibatan Komnas HAM dalam penyelidikan kasus.
- Instrumen Lain
- UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
- UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (ICESCR) serta Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
- Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) sebagai lembaga independen (dibentuk melalui Keppres 1993, kemudian diperkuat UU No. 39/1999) (Republik Indonesia, 1999).
Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
a. Peristiwa Tanjung Priok. Salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang cukup dikenal di Indonesia adalah tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984. Insiden ini melibatkan bentrokan antara aparat keamanan dengan masyarakat setempat. Ketegangan dipicu oleh persoalan bernuansa SARA serta kepentingan politik, terutama terkait penolakan warga atas rencana pemindahan makam keramat Mbah Priok. Situasi yang semakin memanas akhirnya berujung pada bentrokan dengan polisi dan TNI, hingga menelan korban jiwa dalam jumlah besar akibat tindakan represif dan penembakan.
b. Peristiwa Aceh. Pada periode 1990 hingga 1998, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Dalam kurun waktu tersebut, berbagai dugaan pelanggaran HAM terjadi, yang sebagian besar berakar pada konflik politik dan keinginan sebagian pihak untuk memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Rakyat sipil menjadi korban kekerasan, termasuk kasus pembunuhan, penculikan, hingga penyiksaan, yang meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat setempat.
c. Kasus Pembunuhan Marsinah. Tragedi lain yang menyita perhatian publik adalah pembunuhan Marsinah pada 3-4 Mei 1993. Marsinah, seorang buruh sekaligus aktivis perempuan di PT Catur Putera Surya Porong, memimpin aksi mogok kerja bersama rekan-rekannya sebagai bentuk protes atas pemutusan hubungan kerja sepihak. Beberapa hari setelah aksi tersebut, ia ditemukan tak bernyawa di kawasan hutan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, dalam keadaan mengenaskan. Hingga kini, kasus pembunuhan Marsinah masih menyisakan misteri dan dianggap sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang belum pernah tuntas diusut.
d. Kasus Penganiayaan Wartawan. Kasus lain terjadi pada 16 Agustus 1996, ketika seorang jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin yang lebih dikenal dengan nama Udin diserang oleh dua orang tak dikenal di depan rumahnya. Udin dikenal sebagai wartawan yang kritis, terutama dalam mengungkap praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Serangan tersebut akhirnya merenggut nyawanya, dan hingga kini peristiwa tragis itu masih dipandang sebagai salah satu catatan kelam pelanggaran HAM terhadap kebebasan pers di Indonesia. Kemudian peristiwa yang sudah menjadi rahasia umum yaitu peristiwa 98, begitu banyak maahasiswa yang diculik dan dianiaya saat demonstrasi, tentunya semua Sejarah kelam ini menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia untuk tidak mengulang kembali luka lama(Prasetyo, 2023).
Referensi
Khairunnisa, A. A. (2018). PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM OLEH PEMERINTAH DAERAH. 5(1).
Kusnadi. (n.d.). Hakikat dan sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM).
Prasetyo, S. (2023). Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Indonesia. 2(1).
Republik Indonesia. (1999). UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 39 TENTANG HAK ASASI MANUSIA .
By : M Alif Akbar