Edukasi Politik dan Kewarganegaraan Digital sebagai Pilar Demokrasi Inklusif
Penulis : Achmad Edi Sudirman, Deky Nuzul Ramdhani, Fadhilah Aini, Hermawati, Intan Philiani, Lydia Primawati, Muhammad Adzkarurrabbani Zohri, Muhammad Hanief Ridhallah, Muh. Surur, Shahib Kholil Rahman Al-Irsadi, Syiva Zahara
Editor : Dr. Qurnia Indah Permata Sari, S.Ip., M.Sos
Demokrasi di Indonesia tidak cukup dipahami hanya sebatas prosedur elektoral, melainkan harus mampu mewujudkan partisipasi politik yang inklusif. Demokrasi inklusif berarti membuka ruang keterlibatan yang setara bagi seluruh warga negara, termasuk kelompok yang selama ini terpinggirkan seperti perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, dan kelompok miskin. Prinsip ini menjadi penting karena tanpa partisipasi yang merata, demokrasi hanya menjadi slogan formalitas, bukan instrumen untuk menghadirkan keadilan sosial (Mujtahid, 2013).
Pendidikan politik berperan sentral dalam membangun demokrasi inklusif. Pengetahuan politik yang memadai akan mendorong warga negara memahami hak dan kewajiban mereka, serta berani mengawasi jalannya pemerintahan. Literasi politik yang baik membantu masyarakat menilai kebijakan publik secara kritis dan menolak praktik politik transaksional. Tanpa pendidikan politik, partisipasi warga cenderung bersifat pasif, terbatas hanya pada saat pemilu, dan rentan dimanipulasi oleh kepentingan elite (Diamond, 2019).
Selain pendidikan politik, kewarganegaraan digital kini menjadi aspek penting dalam memperkuat demokrasi inklusif. Perkembangan teknologi informasi dan media sosial membuka ruang partisipasi yang lebih luas, memungkinkan dialog lintas wilayah, dan mempercepat mobilisasi isu. Di sisi lain, ruang digital juga menghadirkan tantangan serius berupa banjir informasi palsu, ujaran kebencian, dan polarisasi politik yang dapat melemahkan kualitas demokrasi (Wardhani, 2021). Oleh karena itu, literasi digital perlu diperkuat agar warga mampu menggunakan ruang publik digital secara bertanggung jawab, kritis, dan produktif.
Tantangan terbesar demokrasi inklusif di Indonesia adalah masih adanya kesenjangan partisipasi politik. Kelompok marginal sering kali tidak memiliki akses setara dalam menentukan arah kebijakan. Penyandang disabilitas, misalnya, menghadapi hambatan aksesibilitas dalam menggunakan hak pilih. Masyarakat adat kerap terpinggirkan dalam proses legislasi yang menyangkut hak atas tanah dan sumber daya alam. Tanpa intervensi kebijakan yang berpihak, kelompok-kelompok ini akan terus berada di pinggiran demokrasi (Pratama & Panjaitan, 2023).
Demokrasi inklusif juga membutuhkan tata kelola politik yang transparan dan akuntabel. Negara harus menjamin keterbukaan informasi publik, menyediakan forum partisipasi yang jelas, serta melindungi kebebasan berpendapat warga negara. Keterbukaan ini tidak hanya memperkuat legitimasi politik, tetapi juga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi. Habib et al. (2024) menegaskan bahwa keseimbangan antara hak dan kewajiban warga dapat memperkokoh pilar kedaulatan rakyat. Dengan demikian, demokrasi inklusif bukan hanya tanggung jawab warga, melainkan juga komitmen negara untuk menghadirkan regulasi yang mendukung.
Peran generasi muda menjadi krusial dalam proses ini. Sebagai kelompok dengan tingkat literasi digital tertinggi, anak muda dapat menjadi motor penggerak demokrasi inklusif melalui aktivisme digital, konten edukatif, maupun keterlibatan langsung dalam organisasi politik. Malau (2023) menunjukkan bahwa pendidikan hukum dan kewarganegaraan dapat memperkuat kesadaran kritis generasi muda untuk berpartisipasi secara bermakna dalam ruang publik. Keterlibatan mereka penting untuk memastikan demokrasi tidak hanya dikendalikan oleh elite, tetapi benar-benar menjadi milik seluruh rakyat.
Kesimpulannya, demokrasi inklusif di Indonesia hanya dapat terwujud dengan kombinasi pendidikan politik, literasi digital, dan reformasi tata kelola politik. Warga negara perlu diperlengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup agar dapat berpartisipasi aktif dan kritis, sementara negara wajib menyediakan ruang partisipasi yang setara dan transparan. Dengan demikian, demokrasi tidak berhenti pada prosedur elektoral, tetapi menjadi sarana membangun keadilan sosial dan keberlanjutan bangsa.
Declaration of AI Assistance: Artikel ini disusun dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendukung proses pengumpulan referensi, penyusunan struktur naskah, dan penyempurnaan tata bahasa. Semua ide, data, dan kesimpulan telah diverifikasi oleh penulis dan editor untuk memastikan keakuratan serta kesesuaian dengan etika akademik.