Sistem Pemilu dan Praktik Pemilihan Umum di Indonesia
Sejarah Sistem Pemilu di Dunia
Pemilihan umum (pemilu) sebagai mekanisme memilih pemimpin dan wakil rakyat telah mengalami perkembangan panjang. Dimulai dari Yunani Kuno pada abad ke-5 SM, khususnya di Athena, yang menerapkan demokrasi langsung di mana warga negara laki-laki dewasa ikut mengambil keputusan politik. Romawi Kuno kemudian mengembangkan pemilihan pejabat melalui majelis rakyat, meski hak suara masih terbatas. Memasuki Abad Pertengahan, sistem ini meredup akibat dominasi monarki absolut, namun beberapa wilayah seperti Inggris mulai memperkenalkan pemilihan anggota parlemen pada abad ke-13. Gelombang revolusi pada abad ke-17 hingga ke-18, seperti Revolusi Inggris, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis, membawa ide “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” dan memunculkan pemilu modern berbasis perwakilan rakyat. Amerika Serikat melaksanakan pemilu presiden pertamanya pada 1789, sementara Prancis mengadopsi pemilu legislatif setelah 1789. Abad ke-19 menandai perluasan hak pilih, dari hanya kaum elit menjadi laki-laki dewasa, lalu perempuan, dengan Selandia Baru pada 1893 menjadi pelopor hak pilih penuh bagi perempuan. Abad ke-20 memperkuat pemilu sebagai standar demokrasi global, didukung oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (1948) yang menegaskan hak warga untuk memilih dan dipilih. Kini, sistem pemilu bervariasi, mulai dari mayoritas/pluralitas seperti di Inggris dan AS, sistem proporsional seperti di Belanda dan Indonesia, hingga sistem campuran seperti di Jerman dan Jepang (RRI.Co.Id - Sejarah Asal Muasal Sistem Pemilihan Umum Di Dunia, n.d.).
Sejarah Pemilu di Indonesia
Jika merujuk pada undang-undang republik Indonesia nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, pemilu merupakan “Sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, anggota dewan perwakilan daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam negara kesatuan republik Indonesia berdasarkam pecasila dan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945” (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, n.d.). Ramlan Surbakti mengungkapkan bahwa pemilu merupakan instrument yang terdiri dari beberapa mekanisme, Mekanisme pertama yaitu pendelegasian kedaulatan dari rakyat, kemudian mekanisme perubahan politik arah dan pola kebijakan serta sirkulasi elit secara periodik dan tertib, ketiga mekanisme perpindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk diputuskan secara terbuka dan beradab. Dari berbagai pengertian tentang pemilu, dapat disimpulkan bahwa pemilu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang memiliki landasan hukum serta melibatkan berbagai elemen masyarakat di negara tersebut. Pemilu memberikan akses seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat dalam membentuk pemerintahan yang berlandaskan hukum. Oleh karena itu, karena pemerintahan yang terbentuk bersumber dari hukum, penyelenggaraan pemilu wajib dilaksanakan dengan mematuhi dan menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sholahuddin & dkk., 2023).
Sejak pemilu pertama pada tahun 1955, Indonesia telah menerapkan sistem pemilu representasi proporsional atau perwakilan berimbang, dengan sistem kepartaian yang bersifat multipartai. Pemilu 1955 menjadi tonggak penting karena berhasil menghadirkan empat kekuatan politik utama, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari total 170 partai politik yang berpartisipasi. Pada masa Orde Baru, pemilu pertama diselenggarakan pada tahun 1971 dengan diikuti oleh sepuluh kontestan, antara lain PNI, NU, Parmusi, Parkindo, Murba, PSII, Perti, Partai Katolik, IPKI, dan Golkar. Menjelang pemilu 1971, muncul perdebatan mengenai kemungkinan beralih ke sistem pemilu yang memungkinkan anggota parlemen dipilih secara langsung melalui sistem pluralitas atau mayoritas (sistem distrik). Namun, pada kenyataannya, pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 tetap mempertahankan sistem representasi proporsional dengan daftar calon tertutup. Dalam periode ini, Golkar selalu meraih kemenangan mutlak dan menguasai mayoritas kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga secara konsisten mendukung kebijakan rezim Soeharto tanpa adanya oposisi yang berarti (Ardi Abdussamad et al., n.d.).
Sistem pemilu pada masa Orde Baru tidak dirancang untuk mengakomodasi kemungkinan terjadinya perubahan politik yang signifikan. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998, yang bertujuan mengubah tatanan politik dan pemerintahan Indonesia. Setelah lengsernya Soeharto, pemilu tahun 1999 diselenggarakan dengan diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu ini menghasilkan kemenangan bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Golkar menempati posisi kedua. Era reformasi kemudian menjadi fase transisi penting dari rezim otoriter menuju sistem yang lebih demokratis. Pasca pemilu 1999, agenda utama reformasi politik dimulai dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), khususnya dengan penambahan Bab VIIB yang mengatur sistem pemilu secara umum. Berdasarkan Bab ini, pemilihan sistem pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yaitu DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat 1 UUD 1945. Amandemen UUD 1945 diikuti dengan revisi sejumlah undang-undang politik, termasuk undang-undang tentang partai politik, undang-undang tentang pemilu, serta undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Perubahan ini melahirkan Pasal 22E ayat (2) yang menegaskan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), termasuk dalam rezim pemilu, selain pemilu anggota DPR dan DPRD. Meskipun demikian, perdebatan mengenai perbaikan sistem pemilu terus bergulir, salah satunya saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2003. Dalam pembahasan tersebut, mengemuka wacana mengganti sistem proporsional dengan daftar calon tertutup menjadi sistem distrik (pluralitas/mayoritas) (Ardi Abdussamad et al., n.d.).
Penerapan sistem proporsional pada pemilu 1999 dinilai jauh dari harapan untuk meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituen. Hal ini disebabkan rakyat hanya memilih lambang partai politik tanpa mengetahui secara jelas siapa calon yang diusung dan yang akan terpilih. Akibatnya, muncul pandangan bahwa sistem distrik lebih tepat diterapkan di Indonesia karena memiliki tingkat akuntabilitas yang lebih tinggi, mengingat rakyat dapat secara langsung menentukan siapa yang menjadi wakilnya. Namun, dalam proses pembahasan RUU pemilu, lima partai politik besar PDIP, Golkar, PKB, PAN, dan PPP sepakat bahwa sistem proporsional masih relevan untuk diterapkan, meskipun perlu ada pembenahan dalam mekanisme pengkaderan dan rekrutmen di internal partai politik. Hasil perdebatan tersebut kemudian diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD, yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemilu tahun 2004. Undang-undang ini menetapkan bahwa pemilihan anggota DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka, sedangkan pemilihan anggota DPD menggunakan sistem distrik berwakil banyak. Pemilu 2004 sendiri diikuti oleh 24 partai politik, dengan Golkar keluar sebagai pemenang, sementara PDIP berada di urutan kedua (Ardi Abdussamad et al., n.d.).
Pemilu dalam konteks negara demokratis
Pemilu dapat dikatakan demokratis apabila memenuhi ukuran-ukuran tertentu yang dijadikan sebagai patokan dalam pelaksanaannya. Salah satu acuan penting yang diakui secara internasional adalah standar yang dikeluarkan oleh Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), sebuah lembaga internasional yang fokus pada penataan dan penguatan sistem demokrasi di berbagai negara. Standar yang ditetapkan oleh IDEA dianggap relevan dan patut dijadikan sumber inspirasi bagi para penyelenggara pemilu, karena memuat prinsip-prinsip yang mampu memastikan bahwa pemilu berlangsung secara bebas, adil, dan transparan. Menurut IDEA, terdapat lima belas kriteria utama yang diakui secara global sebagai alat untuk mengukur kualitas dan standar pelaksanaan pemilu. Kriteria tersebut mencakup: penyusunan kerangka hukum yang jelas, penerapan sistem pemilu yang tepat, penentuan distrik pemilihan dan batasan wilayah pemilu yang proporsional, jaminan hak untuk memilih dan dipilih bagi seluruh warga negara, keberadaan badan pelaksana pemilu yang independen dan professional, sistem pendaftaran pemilih yang akurat dan memastikan seluruh pemilih terdaftar, kemudahan akses partai politik dan kandidat ke surat suara, pelaksanaan kampanye pemilu yang demokratis, akses terhadap media serta kebebasan berekspresi, pengaturan yang transparan terkait pembiayaan dan pengeluaran kampanye, proses pemungutan suara yang terjamin keamanannya, penghitungan dan tabulasi suara yang akurat, keterlibatan wakil partai dan kandidat dalam proses pemilu, pelaksanaan pemantauan pemilu yang independent, serta kepatuhan dan penegakan hukum yang tegas terhadap setiap pelanggaran (Sholahuddin & dkk., 2023).
Selain standar yang dirumuskan oleh IDEA, ukuran pemilu demokratis juga mengacu pada berbagai instrumen hukum internasional yang telah disepakati oleh komunitas global. Di antaranya adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 yang menegaskan hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam pemerintahan melalui pemilu yang bebas dan adil. Kemudian, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights / ICCPR) tahun 1960 yang memuat jaminan hak-hak politik warga negara. Standar lainnya dapat ditemukan dalam Protokol Konvensi Eropa tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi tahun 1950, Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat tahun 1981, serta Deklarasi Internasional tentang Kriteria Pemilu yang Bebas dan Adil (Paris Declaration) yang diadopsi oleh Inter-Parliamentary Council pada pertemuan ke-154 tanggal 26 Maret 1994. Seluruh instrumen ini menjadi rujukan penting dalam membangun pemilu yang benar-benar demokratis, bebas, adil, dan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia (Sholahuddin & dkk., 2023).
Pemilu dari sudut pandang lain
Sistem pemilu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap berbagai sistem lainnya, terutama sistem kepartaian dan sistem pemerintahan. Namun, pengaruh tersebut tidak sepenuhnya tunggal karena masih terdapat faktor lain yang juga berperan, seperti perilaku memilih masyarakat dan kondisi ekonomi, sosial, serta budaya. Pemilihan desain sistem pemilu sangat dipengaruhi oleh aktor dan konteks yang melatarbelakanginya. Dari sisi aktor, terdapat berbagai pihak yang mempengaruhi, mulai dari partai politik (Parpol), aktor di luar partai, aktor eksternal, para ahli non-politik, hingga masyarakat umum. Sementara itu, dari sisi konteks, faktor ekonomi dan perubahan atau modernisasi menjadi aspek penting yang mempengaruhi pilihan sistem pemilu. Di samping itu, motivasi dari elit pembuat kebijakan juga memegang peranan, baik dalam kapasitas mereka sebagai pemburu kekuasaan, kebijakan, maupun suara (Ardi Abdussamad et al., n.d.).
Tujuan dari pemilihan suatu sistem pemilu pun bervariasi, seperti untuk mencapai keterwakilan, menciptakan pemerintahan yang efektif (governability), menyeimbangkan antara keduanya, memaksimalkan legitimasi, atau menjamin keadilan. Pada hakikatnya, pemilihan sistem pemilu di suatu negara sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai negara tersebut. Oleh sebab itu, desain sistem pemilu dapat dipandang sebagai instrumen untuk mewujudkan tujuan tertentu, yang dalam kajian politik dikenal dengan istilah electoral engineering atau perekayasaan kepemiluan. Salah satu teori populer dalam kajian sistem pemilu adalah Hukum Duverger dan Hipotesis. Hukum Duverger menyatakan bahwa sistem pemilu mayoritas atau pluralitas cenderung menghasilkan sistem kepartaian sederhana, yakni sistem dua partai. Sementara itu, Hipotesis Duverger menjelaskan bahwa sistem pemilu perwakilan berimbang (proportional representation) maupun sistem campuran cenderung melahirkan sistem multipartai, baik yang sederhana maupun yang kompleks. Kedua pandangan ini terbukti dalam kasus Indonesia. Pemilu 2019, misalnya, menunjukkan bahwa sembilan partai politik berhasil memperoleh kursi di DPR RI, jumlah yang tidak berbeda signifikan dari pemilu-pemilu sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pemilu proporsional yang digunakan di Indonesia memang mendorong terbentuknya sistem multipartai (Ardi Abdussamad et al., n.d.).
Sistem proporsional dengan daftar terbuka cenderung kurang disukai oleh para calon legislatif. Alasannya, para calon tidak hanya harus bersaing dengan kandidat dari partai lain, tetapi juga dengan kandidat dari partai yang sama. Bahkan, tingkat kompetisi internal di dalam satu partai sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan persaingan antar partai. Meskipun sistem perwakilan berimbang dapat menghasilkan perwakilan yang proporsional, sistem ini juga mendorong terjadinya faksionalisme dan pencalonan yang partisan. Fenomena ini terlihat jelas sejak Pemilu 2009 ketika Indonesia mulai menerapkan sistem perwakilan berimbang dengan daftar terbuka. Pertama, proses pencalonan di internal partai berlangsung sangat kompetitif. Kedua, dalam masa kampanye, persaingan antar calon dari partai yang sama bahkan lebih sengit dibandingkan persaingan antar calon dari partai yang berbeda. Kondisi ini menjadikan peran individu calon lebih menonjol dibandingkan peran partai politik itu sendiri, padahal secara regulasi peserta pemilu yang sah adalah partai politik, bukan calon perorangan(Ardi Abdussamad et al., n.d.).
Referensi
Ardi Abdussamad, G. M., Faralita, E., Negeri Antasari Banjarmasin, I., Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, S., & Indonesia, B. (n.d.). KORUPSI POLITIK TERLAHIR DARI SISTEM PEMILIHAN UMUM MENGGUNAKAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA DI INDONESIA. 11(1).
RRI.co.id - Sejarah Asal Muasal Sistem Pemilihan Umum Di Dunia. (n.d.). Retrieved August 12, 2025, from https://rri.co.id/iptek/970136/sejarah-asal-muasal-sistem-pemilihan-umum-di-dunia
Sholahuddin, A. H., & dkk. (2023, May). Hukum Pemilu di Indonesia - Abdul Hakam Sholahuddin, Chairul Bariah, Herniwati, Femmy Silaswaty Faried, Ibnu Sam Widodo, Muhammad Ardhi Razaq Abqa, Fradhana Putra Disantara, Amelia Ayu Paramitha, Asri Agustiwi, Deni Yusup Permana, Dara Pustika Sukma, Firman Firdausi, Didik Suhariyanto, Fuqoha - Google Books. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=IAbAEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=Sistem+Pemilu+dan+Praktik+Pemilihan+Umum+di+Indonesia&ots=MhWSLR_BOC&sig=d3ExISYve62cqoHoSt-Cw1daPcc&redir_esc=y#v=onepage&q=Sistem%20Pemilu%20dan%20Praktik%20Pemilihan%20Umum%20di%20Indonesia&f=false
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA no 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. (n.d.).
Rekomendasi bahan bacan
- Buku
- Miriam Budiardjo – Dasar-Dasar Ilmu Politik
- Bagir Manan – Sistem Ketatanegaraan Indonesia
- Ariel Heryanto (ed.) – Vernacular Politics in Indonesia
- Saiful Mujani – Voting Behavior in Indonesia since Reformasi
- Artikel Ilmiah
- "Indonesia's Political Institutions After Reformasi" – Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES)
- "The President and the Parliament in Indonesia" – Asian Survey
- "Democratic Consolidation in Indonesia" – Journal of Democracy
- "Political Parties and Electoral Politics in Indonesia" – Contemporary Southeast Asia).
- Artikel Populer/Opini Publik
- "Sistem Politik Indonesia: Apa yang Berubah Setelah Reformasi?" – The Conversation Indonesia
- "Bagaimana Parlemen Kita Bekerja?" – Tirto.id
- "Mengapa KPK, MK, dan Lembaga Negara Lain Dipertanyakan Legitimasi dan Etiknya?" – Kompas.id
By: M Alif Abar