Kebijakan Publik dan Tata Kelola Pemerintahan Berlandaskan Norma dan Kebutuhan Sosial, Serta Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara
Pendahuluan
Kebijakan publik dan tata kelola pemerintahan dewasa ini tidak lagi cukup hanya dipahami dalam kerangka teknokratis dan administratif. Sebaliknya, keduanya merupakan ekspresi nilai-nilai moral dan etika sosial yang melekat pada tujuan utama negara yaitu menjamin kesejahteraan, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Paul Spicker (2006) dalam Social Policy: Themes and Approaches menjelaskan bahwa setiap kebijakan sosial memiliki dimensi normatif yang tidak terelakkan. Kebijakan adalah alat untuk mencapai keadilan sosial, bukan sekadar alat pengaturan teknis. Pemahaman ini penting dalam konteks Indonesia, di mana pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara kerap terjadi. Pelanggaran tersebut bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga merupakan kegagalan etika negara dalam memenuhi tanggung jawab moralnya terhadap rakyat. Dengan demikian, penilaian atas kebijakan publik tidak cukup dilihat dari aspek legalitas atau efektivitas, melainkan juga dari keberpihakannya pada nilai-nilai keadilan, integritas, dan kepentingan umum.
Kebijakan Publik
Kebijakan publik tidak pernah netral secara moral. Dalam praktiknya, setiap kebijakan mengandung pertimbangan nilai, seperti siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat. Menurut Budi Winarno (2012), kebijakan publik harus dilihat sebagai proses politik yang memuat keputusan-keputusan bernilai, bukan sekadar prosedur administratif. Kebijakan adalah wujud dari nilai yang dilembagakan (institutionalized values), sehingga ia tidak dapat dilepaskan dari keadilan distributif, moralitas, dan keberpihakan terhadap kelompok rentan. Kebijakan yang adil adalah kebijakan yang mampu menjawab kebutuhan sosial masyarakat, terutama mereka yang termarjinalkan. Dalam konteks ini, etika kebijakan menjadi penting untuk mengukur apakah kebijakan benar-benar memenuhi nilai keadilan sosial atau justru mereproduksi ketimpangan (Dr. Riant Nugroho, 2018). Kebijakan publik dapat dilihat sebagai sarana operasional bagi negara untuk menjalankan amanat konstitusi. Konstitusi menetapkan tujuan dan prinsip-prinsip dasar negara, dan kebijakan publik adalah alat untuk menerjemahkan prinsip-prinsip tersebut menjadi tindakan konkret demi kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, kebijakan yang efektif adalah cerminan dari komitmen negara terhadap konstitusinya. kebijakan publik tidak boleh "menjadi hukum" yang hanya menghakimi, melainkan harus "memberikan kehidupan publik yang hebat." Ini menunjukkan bahwa kebijakan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan dan kebermanfaatan, yang sejalan dengan semangat hukum dan konstitusi yang lebih luas (Dr. Riant Nugroho, 2018).
Pendekatan good enough governance yang diperkenalkan oleh (Grindle, 2007) juga menekankan bahwa kebijakan tidak harus sempurna secara institusional, tetapi harus cukup baik untuk menjamin hak-hak dasar warga dan memfasilitasi partisipasi sosial yang inklusif. Artinya, kebijakan harus menjawab kebutuhan nyata masyarakat dalam konteks sumber daya dan kapasitas negara yang terbatas. tata kelola yang baik sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan politik, serta pengurangan kemiskinan. Tata kelola yang baik mencakup berbagai aspek sektor publik, mulai dari institusi yang menetapkan aturan main ekonomi dan politik, struktur pengambilan keputusan, hingga organisasi yang mengelola sistem administratif dan menyediakan barang serta layanan kepada warga negara, serta interaksi antara pejabat dan warga negara. Ini adalah fondasi bagi berfungsinya sistem hukum dan pemenuhan hak serta kewajiban. Kebijakan publik yang baik juga harus mempertimbangkan aspek deliberatif, yaitu sejauh mana kebijakan itu dirumuskan melalui proses partisipatif yang melibatkan suara warga. Proses ini menjadi tolak ukur etis karena menunjukkan penghormatan terhadap kedaulatan rakyat (Grindle, 2007). Seperti dicatat dalam buku Kebijakan Publik oleh Imanuddin Hasbi et al. (2021), kebijakan yang otoriter atau elitis cenderung mengabaikan aspirasi masyarakat dan rentan melahirkan resistensi sosial. Dengan demikian, kebijakan publik adalah praktik etis yang harus diuji berdasarkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan partisipasi. Kebijakan yang hanya menitikberatkan pada efektivitas administratif tanpa mempertimbangkan keadilan sosial akan kehilangan legitimasi moral di mata publik.
Negara idealnya merupakan pelindung dan penjamin hak-hak konstitusional warga negara. Namun, dalam kenyataan, negara juga bisa menjadi pelaku pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, baik secara langsung melalui kebijakan diskriminatif maupun secara tidak langsung melalui pembiaran terhadap ketidakadilan. Ketika negara gagal menjamin hak-hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan kebebasan berekspresi, maka itu bukan semata pelanggaran hukum, melainkan kegagalan moral dan etis. Paul Spicker (2006) menyebut bahwa kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan sosial. Hak-hak konstitusional bukan hanya janji politik, tetapi perintah etis yang mengikat negara untuk bertindak. Oleh karena itu, ketika negara melalaikan kewajibannya, seperti dalam kasus penggusuran paksa tanpa ganti rugi yang adil, atau pembatasan akses informasi publik, maka negara sedang menegasikan martabat warganya.
Dalam konteks Indonesia, berbagai laporan dari lembaga seperti ELSAM dan PSHK menunjukkan bahwa pelanggaran hak konstitusional warga negara terjadi dalam banyak bentuk: diskriminasi terhadap minoritas, kriminalisasi terhadap pembela hak asasi, atau ketimpangan akses terhadap keadilan hukum. Pelanggaran ini tidak hanya menjadi catatan hitam dalam praktik hukum, tetapi juga mencerminkan krisis etika dalam penyelenggaraan pemerintahan. Riant Nugroho (2018) menekankan bahwa etika dalam kebijakan publik harus mempersoalkan siapa yang dirugikan dan siapa yang dibiarkan tertinggal. Negara yang gagal menanggapi masalah ketimpangan dan ketidakadilan struktural sedang menghadapi krisis legitimasi moral. Dalam kerangka ini, tanggung jawab negara bukan hanya memberikan layanan, tetapi juga memastikan bahwa layanan tersebut dibagikan secara adil dan bermartabat.
Penilaian terhadap kebijakan publik tidak cukup hanya berdasarkan indikator legalitas dan efektivitas. Dalam kerangka etika publik, evaluasi kebijakan harus menjangkau aspek moralitas keputusan publik serta integritas para pelaksana kebijakan. Menurut Grindle (2007), tata kelola yang baik (good governance) adalah tata kelola yang mempertimbangkan keadilan, transparansi, dan akuntabilitas sebagai standar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pejabat publik sebagai aktor pelaksana kebijakan memegang tanggung jawab etis untuk bertindak jujur, adil, dan transparan. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini, seperti praktik korupsi, manipulasi data, atau penyalahgunaan kewenangan, tidak hanya mencederai hukum positif, tetapi juga melukai kepercayaan publik dan integritas negara. Dalam banyak kasus, rendahnya integritas pejabat justru memperburuk ketimpangan implementasi kebijakan.
Etika evaluatif juga menuntut adanya refleksi atas nilai yang terkandung dalam kebijakan. Sebagai contoh, sebuah kebijakan bansos yang dilaksanakan tanpa mekanisme pengawasan yang jelas dapat memunculkan distribusi yang tidak adil. Hal ini menunjukkan pentingnya tata kelola yang didasarkan pada prinsip-prinsip etika publik dan partisipasi masyarakat dalam proses monitoring. Dalam konteks Indonesia, mekanisme evaluatif seperti audit publik, pengawasan oleh lembaga independen, serta pelibatan masyarakat sipil, merupakan instrumen penting dalam menjaga akuntabilitas kebijakan. Budi Winarno (2012) menyebutkan bahwa sistem evaluasi berbasis etika ini akan mendorong terciptanya pemerintahan yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga adil secara moral.
Civic virtue atau kebajikan kewargaan merupakan nilai dasar dalam demokrasi yang sehat. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, kejujuran, empati, solidaritas, dan keberanian moral adalah fondasi yang menopang partisipasi warga dalam kehidupan publik. Menurut Paul Spicker (2006), kebijakan publik yang adil hanya dapat terwujud jika warga negara memiliki kepekaan terhadap kepentingan bersama (common good). Partisipasi warga negara dalam merespons dan memengaruhi kebijakan publik tidak boleh bersifat transaksional atau pasif. Sebaliknya, ia harus didasarkan pada motivasi etis untuk memperjuangkan keadilan sosial dan melawan penyimpangan. Dalam banyak kasus, keberhasilan perubahan kebijakan justru didorong oleh keberanian warga dalam menyuarakan hak dan kebenaran. Kebijakan yang disusun tanpa mendengar suara publik berisiko gagal secara etis maupun fungsional. Oleh karena itu, civic virtue juga mengharuskan pemerintah membuka ruang deliberatif dan inklusif dalam setiap proses pengambilan keputusan. Semangat ini dapat terlihat dalam gerakan sosial berbasis komunitas yang memperjuangkan hak-hak dasar seperti air bersih, lingkungan, dan pendidikan. Pendidikan kewarganegaraan yang membudayakan civic virtue sangat penting ditanamkan sejak dini, baik di lingkungan sekolah maupun institusi sosial. Hal ini sejalan dengan perspektif ELSAM yang menekankan bahwa pelibatan warga dalam kebijakan harus bersifat substantif, bukan hanya prosedural.
Kepemimpinan Etis Dan Kewargaan Aktif
Kepemimpinan dalam kebijakan publik bukan hanya soal kemampuan teknis dan administratif, tetapi lebih dalam lagi menyangkut komitmen moral terhadap keadilan dan martabat manusia. Pemimpin yang etis adalah mereka yang mengutamakan kepentingan umum, berani mengambil keputusan yang berpihak pada kelompok rentan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran serta integritas. Menurut Riant Nugroho (2018), kepemimpinan dalam kebijakan yang ideal adalah kepemimpinan yang visioner, transformatif, dan berakar pada prinsip moral. Kepemimpinan seperti ini tidak sekadar mengeksekusi program, tetapi juga menjadi panutan etis bagi birokrasi dan masyarakat. Ketika pemimpin memperlihatkan integritas, maka ia akan memperkuat legitimasi kebijakan sekaligus membangkitkan partisipasi aktif masyarakat.
Kewargaan aktif dalam konteks ini bukan hanya keterlibatan dalam pemilu atau forum-forum resmi, tetapi mencakup seluruh bentuk partisipasi yang berakar pada tanggung jawab etis. Hal ini mencakup sikap kritis, kesediaan berdialog, dan keterlibatan dalam advokasi kebijakan. Sebagaimana ditegaskan dalam jurnal Good Governance dalam Perspektif Administrasi Publik, sinergi antara kepemimpinan etis dan kewargaan aktif akan membentuk ekosistem tata kelola yang adil dan responsif. Dengan demikian, membangun tata kelola pemerintahan yang adil memerlukan kombinasi antara kebijakan yang etis, pejabat yang integritas, warga yang aktif, dan pemimpin yang bermoral. Hanya dengan sinergi ini, hak-hak konstitusional warga negara dapat dilindungi dan kebijakan publik dapat menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Daftar Pustaka
Dr. Riant Nugroho. (2018). Public Policy Dinamika Kebijakan Publik Analisis Kebijakan Publik Manajemen Politik Kebijakan Publik Etika Kebijakan Publik.
Grindle, M. S. (2007). Good Enough Governance Revisited. In Development Policy Review (Vol. 25, Issue 5).
Spicker, Paul. (2006). Social Policy: Themes and Approaches. Palgrave Macmillan.Winarno, Budi. (2012). Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.
Hasbi, Imanuddin, dkk. (2021). Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ELSAM. (2021). Laporan Hak Konstitusional Warga dan Evaluasi Kebijakan HAM di Indonesia.
PSHK. (2020). Reformasi Weekly Digest dan Artikel Kebijakan Hukum Publik.
Jurnal Ilmu Administrasi Negara. (2020). Good Governance dalam Perspektif Administrasi Publik.
Rekomendasi bahan bacan
- Buku
- Paul Spicker – Social Policy: Themes and Approaches
- Budi Winarno – Kebijakan Publik: Teori dan Proses
- Riant Nugroho – Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan
- Merilee Grindle – Good Enough Governance Revisited
- Artikel Ilmiah
- “Good Governance dalam Perspektif Administrasi Publik” – Jurnal Ilmu Administrasi Negara (UI, UGM, atau STIA LAN)
- Artikel kebijakan dari The Conversation Indonesia dan Reformasi Weekly Digest (PSHK, ELSAM)
- Artikel Populer/Opini Publik
- Rantai Nilai Kebijakan Publik" – Kompas.id
- "PHK dan Ketahanan Sosial Keluarga: Bom Waktu Krisis Multidimensi" – Kompasiana
- "Hak Konstitusional Warga Negara Dijamin Konstitusi" – Mahkamah Konstitusi RI
- "Alternatif Baru Pelindungan Hak Konstitusional Warga Negara" – Jurnal DPR RI