Blog Details

Featured blog image
CIVIC

Menghidupkan Demokrasi Dari Akar Rumput Demi Masa Depan Organisasi Masyarakat Sipil

Author

Admin

Penulis : Namya Nainda, Shaqina Rahmiathul Jannah, Laura Martselina Purba, Tia Setiawati, Farhan Hidayat, Muhammad Fadhil Haritsah, Nabilla Selvy Amalia, Hugolisa Fouk Seran, Ihya Ulumuddin, Awaluddin, Ashar Abdillah, Muhammad Sowakil

Editor : Fathul Bari, M.Pd

Kemunduran demokrasi yang melanda berbagai negara, termasuk Indonesia, menjadikan peran organisasi masyarakat sipil (OMS) semakin krusial. OMS adalah representasi langsung dari kekuatan warga yang mandiri dari negara dan pasar. Namun, dalam praktiknya, OMS tidak lepas dari berbagai tantangan yang menghambat kontribusinya dalam menciptakan keadilan sosial dan ekologis.

Salah satu persoalan utama yang dihadapi OMS saat ini adalah penyusutan ruang partisipasi publik. Berbagai kebijakan pemerintah yang represif terhadap kritik, seperti penggunaan pasal karet dalam Undang Undang ITE, telah membungkam banyak suara alternatif. Menurut Hadiz (2020), kemunduran demokrasi di Indonesia tidak hanya terjadi pada tataran institusional, tetapi juga dalam bentuk praktik pengendalian atas narasi publik oleh elit politik. Hal ini menghambat OMS dalam melakukan advokasi, terutama terhadap isu-isu struktural seperti ketimpangan ekonomi, perusakan lingkungan, dan diskriminasi sosial.

Contoh nyata pengekangan terhadap ruang partisipasi publik terjadi saat pelaporan pidana terhadap aktivis lingkungan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti oleh Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan menggunakan pasal pencemaran nama dalam UU ITE serta gugatan perdata senilai Rp 100 miliar, sebagai respons atas kritik mereka terhadap relasi ekonomi dan militer di Intan Jaya; aksi hukum tersebut dianggap sebagai bentuk SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang mengintimidasi pembela HAM dan meredam kebebasan berekspresi (Amnesty, 2021).

Persoalan kedua adalah lemahnya kemandirian finansial OMS. Banyak organisasi bergantung pada pendanaan eksternal, yang sering kali datang dengan agenda tertentu dari donor. Ini menyebabkan terjadinya dilema antara idealisme perjuangan dan tuntutan operasional. Sebuah studi oleh Banks et al. (2021) menyebutkan bahwa ketergantungan pada donor luar negeri membuat banyak OMS terjebak dalam proyek-proyek jangka pendek tanpa strategi transformatif yang berkelanjutan.

Ketergantungan OMS terhadap dana donor internasional tergolong sangat tinggi menurut YAPPIKA (melalui survei YAPPIKA ActionAid), sebagian besar OMS di Indonesia mengandalkan hibah dari lembaga donor, dan hanya sedikit yang memiliki kapasitas penggalangan dana mandiri; selama pandemi Covid-19, 72 % OMS mengalami kendala keuangan, 23 % bahkan mencapai tingkat kritis, dan beberapa di antaranya terancam bubar karena ketiadaan pendanaan baik dari donor asing maupun domestik

Persoalan ketiga adalah krisis regenerasi kepemimpinan dan partisipasi generasi muda. Banyak aktivis muda kehilangan ketertarikan pada dunia pergerakan karena tidak melihat hasil nyata dari advokasi yang dilakukan, atau karena merasa OMS tidak lagi relevan dalam era digital. Padahal, generasi muda adalah kunci dalam merawat demokrasi ke depan. Penelitian yang dilakukan oleh Herdiansyah (2022) menekankan pentingnya transformasi organisasi agar lebih adaptif terhadap konteks zaman, termasuk dalam penggunaan teknologi informasi dan media sosial.

Akar dari persoalan-persoalan ini sangat berkaitan dengan lemahnya budaya demokrasi deliberatif di masyarakat, yakni partisipasi warga masih dianggap sebagai kegiatan musiman saat pemilu, bukan sebagai hak dan kewajiban harian. Ditambah lagi, negara sering kali bersikap ambigu terhadap OMS, di satu sisi mengakui peran mereka dalam pembangunan, namun di sisi lain mempersempit ruang gerak mereka ketika dianggap mengancam stabilitas.

Perlu strategi multilevel guna menjawab tantangan tersebut. Pertama, OMS harus memperkuat basis organisasinya dengan membangun jaringan horizontal antar organisasi dan memperluas kolaborasi lintas isu. Kedua, organisasi perlu meningkatkan kapasitas advokasinya melalui pelatihan hukum, komunikasi publik, dan penguatan literasi politik. Ketiga, membangun ekosistem pendanaan alternatif yang lebih mandiri, misalnya melalui model crowdfunding atau koperasi sosial.

Peran negara juga tak bisa diabaikan. Pemerintah harus menjamin kebebasan berserikat dan berekspresi, serta menyediakan regulasi yang melindungi OMS dari kriminalisasi. Dunia pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai partisipatif sejak dini, agar generasi muda tumbuh sebagai warga yang kritis dan aktif. Selain itu, media dan akademisi dapat menjadi jembatan untuk memperluas suara OMS ke ruang publik yang lebih luas.

Menghidupkan demokrasi dari akar rumput bukan pekerjaan sesaat. Ia membutuhkan konsistensi, keberanian, dan solidaritas lintas generasi. OMS adalah jantung dari masyarakat demokratis. Ketika mereka melemah, maka demokrasi pun kehilangan denyutnya. Maka dari itu, memperkuat OMS berarti menjaga nyawa demokrasi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Amnesty International Indonesia. (2021, 22 September). Kecaman bersama koalisi masyarakat sipil: "Stop serangan pada pembela HAM dengan UU ITE!" Amnesty International Indonesia.

Banks, N., Hulme, D., & Edwards, M. (2021). NGOs, states, and donors revisited: Still too close for comfort? World Development, 140, 105349. https://doi.org/10.1016/j. worlddev.2020 .105349

Hadiz, V. R. (2020). Toward a Sociological Understanding of Islamic Populism in Indonesia.Journal of Contemporary Asia, 50(2), 316–333. https://doi.org/10.1080/00472 336.2019.1673203

Herdiansyah, H. (2022). Dinamika Civil Society dalam Tantangan Demokrasi dan Lingkungan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 26(1), 19–34. https://doi.org/10.22146/jsp.64715

YAPPIKA-ActionAid. (n.d.). YAPPIKA ActionAid: Call for interest untuk riset baseline lingkungan mendukung organisasi masyarakat sipil dan peran masyarakat sipil dalam pembangunan berkelanjutan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia.