Memahami Negara dan Konstitusi Indonesia Sebagai Sebuah Pendekaran Historis, Etis, dan Filosofis
Negara tidak lahir dari ruang hampa. Ia bukan hasil semata kalkulasi rasional atau instrumen kekuasaan, melainkan produk dari sejarah panjang perjuangan moral, gagasan etis, dan pengorbanan kolektif. Dalam konteks Indonesia, negara terbentuk bukan hanya melalui konsensus elite, tetapi juga melalui cita-cita kebebasan, keadilan sosial, dan martabat manusia yang tertanam dalam perjuangan melawan kolonialisme. Oleh karena itu, memahami negara dan konstitusi Indonesia membutuhkan pendekatan yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga historis, etis, dan filosofis. Negara adalah proyek moral, dan konstitusi adalah perwujudan tertinggi dari janji moral tersebut
Pemikiran klasik tentang negara seringkali merujuk pada bentuk dan sistem kekuasaan, seperti yang dikemukakan oleh Plato dalam teorinya Plato tentang negara ideal, konsep Leviathan dari Thomas Hobbes, maupun teori kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau. Dalam kerangka ini, negara diposisikan sebagai institusi yang bertujuan menjaga ketertiban dan melindungi warga dari konflik. Namun, pemikiran ini kerap mengabaikan akar nilai-nilai moral sebagai fondasi lahirnya negara. Berbeda dengan pendekatan tersebut, pemikir-pemikir Indonesia seperti Notonagoro dan Yudi Latif menegaskan bahwa negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari akar nilai dan prinsip etis yang bersumber dari Pancasila, pengalaman historis, dan semangat kolektivitas bangsa. Menurut Notonagoro dalam “Pancasila Secara Ilmiah Populer”, Pancasila sebagai dasar negara bukan sekadar pernyataan formal, tetapi merupakan kristalisasi dari nilai- nilai moral dan budaya bangsa Indonesia. Pancasila adalah sistem filsafat yang lahir dari nilai- nilai objektif dan universal yang hidup dalam masyarakat Indonesia, dan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Notonagoro menekankan bahwa setiap sila dalam Pancasila memiliki makna filosofis, etis, dan praksis, yang mewujud dalam cita-cita keadilan sosial, kemanusiaan, dan kebajikan bersama (Notonagoro, 1975)
Yudi Latif dalam tulisannya “Negara Paripurna” menjelaskan lebih lanjut pemahaman ini dengan menempatkan negara Indonesia sebagai entitas historis yang hidup dan berkembang dari dinamika perjuangan moral bangsa. Ia menyatakan bahwa bangsa Indonesia membentuk negara bukan hanya karena dorongan praktis, tetapi karena kehendak kolektif untuk membebaskan diri dari penjajahan dan menegakkan nilai-nilai luhur seperti keadilan, persatuan, dan demokrasi. Menurut Latif, negara adalah “perwujudan moral kolektif” dari rakyat yang mengidealkan tatanan sosial yang adil dan bermartabat. Negara hadir sebagai mediator antara realitas sejarah dan nilai-nilai kultural-spiritual yang hidup dalam masyarakat Indonesia (Latif, 2011). Dalam konteks ini, negara Indonesia bukan hanya lembaga kekuasaan, tetapi juga institusi etis yang bertanggung jawab mewujudkan kebajikan publik (public virtue). Maka, penyelenggaraan negara tidak boleh terlepas dari komitmen moral terhadap rakyat. Pemimpin negara tidak cukup hanya menjalankan kewenangan administratif, tetapi harus mampu memelihara integritas moral dalam kebijakan publik. Negara yang etis bukan hanya memenuhi prosedur hukum, melainkan menjamin martabat manusia dan kesejahteraan bersama sebagai landasan keberadaannya (Doni Ferdio I. D. et al., 2024).
Pemikiran moral dan etis tentang negara yang diuraikan oleh Yudi Latif menemukan relevansinya dalam keputusan politik para pendiri bangsa pada masa awal kemerdekaan. Kesadaran bahwa negara harus menjadi perwujudan nilai-nilai persatuan, keadilan, dan kebajikan publik tercermin dalam pilihan mereka terhadap bentuk negara. Dalam kerangka inilah, para pendiri bangsa secara tegas memilih bentuk negara integralistik dan menolak model federalistik. Sebagaimana ditegaskan Soepomo dan Soekarno pada sidang-sidang BPUPKI 1945. Mereka menilai federasi berarti mendirikan beberapa negara, sedangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia adalah membentuk satu negara kebangsaan yang utuh. Penolakan terhadap sistem federal didasari oleh upaya menjaga integritas dan identitas bangsa yang menjadi dasar keberadaan Indonesia merdeka. Pada masa awal kemerdekaan, disintegrasi dianggap berbahaya karena dapat memicu kembalinya kekuasaan asing dan kekerasan antarsesama. Karena itu, kesatuan nasional menjadi pilihan mutlak demi mencegah kekacauan dan memastikan kemandirian bangsa. Selain itu, pilihan negara kesatuan berakar pada landasan ideologis (Riyanto, 2003).
Para pendiri bangsa berpikir dalam kerangka integralisme, sebagaimana dijelaskan Soepomo, yang memandang negara sebagai satu kesatuan moral dan sosial. Sementara itu, federalisme dianggap sebagai ideologi asing (Barat) yang berpotensi memecah belah bangsa. Dalam konteks Perang Dunia II yang sarat pertarungan ideologi, menegaskan dasar ideologis menjadi cara bangsa Indonesia memperkuat identitasnya sebagai negara yang berdaulat, bersatu, dan berlandaskan Pancasila. Tokoh seperti M. Yamin menegaskan bahwa negara persatuan adalah bentuk paling kuat dan sesuai dengan kepribadian bangsa yang majemuk. Dengan demikian, penolakan terhadap federalisme bukan sekadar persoalan administratif, melainkan keputusan moral, ideologis, dan historis untuk menjaga perdamaian, mencegah disintegrasi, serta meneguhkan cita-cita kemerdekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (Riyanto, 2003).
Dengan demikian, konsep negara dalam pemikiran Indonesia tidak bersifat netral atau teknokratis, melainkan berakar dalam sejarah perjuangan nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan. Pemikiran Notonagoro dan Yudi Latif memberikan kita pemahaman bahwa negara sejatinya adalah proyek moral yang terus diperjuangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah Konstitusi Dari Janji Kemerdekaan ke Pertarungan Nilai
Sejarah konstitusi Indonesia mencerminkan dinamika perjuangan antara kekuasaan dan nilai. Konstitusi 1945 yang disahkan pada awal kemerdekaan merupakan manifestasi dari semangat proklamasi, tetapi juga menyimpan banyak keterbatasan akibat situasi darurat. Seiring perjalanan sejarah, konstitusi mengalami berbagai perubahan, mulai dari Dekrit Presiden 1959, Orde Baru yang otoriter, hingga reformasi 1998 yang membuka jalan bagi amandemen UUD 1945. Denny Indrayana dalam "The Indonesian Constitutional Reform" mengulas bagaimana proses amandemen UUD 1945 antara 1999-2002 merupakan hasil dari kebutuhan akan demokratisasi dan pembatasan kekuasaan presiden. Namun, proses itu sendiri tidak steril dari kompromi politik dan tarik-menarik kepentingan elite. Meskipun demikian, reformasi konstitusi dianggap sebagai salah satu pencapaian transisi demokrasi paling signifikan di Asia Tenggara, karena berhasil menggeser orientasi konstitusi dari kekuasaan menuju perlindungan hak-hak warga negara (Indrayana, 2008).
Soetandyo Wignjosoebroto menambahkan bahwa hukum dan konstitusi dalam konteks Indonesia tidak boleh dipisahkan dari upaya menuju demokrasi substantif. Negara hukum, dalam pandangannya, bukan hanya soal supremasi hukum formal, tetapi tentang bagaimana hukum menjamin kebebasan sipil, keadilan sosial, dan partisipasi politik yang setara (Wignjosoebroto, 2007). Dengan kata lain, sejarah konstitusi adalah medan pertarungan antara nilai-nilai demokrasi dan kuasa yang mencoba mengontrolnya.
Konstitusi bukan sekadar dokumen normatif, melainkan kontrak moral kolektif. Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, konstitusi mengandung tiga fungsi utama yaitu sebagai hukum dasar, sebagai struktur kelembagaan negara, dan sebagai ekspresi etis dari cita-cita nasional (Asshiddiqie, 2006). Ia menekankan pentingnya memahami konstitusi dalam kerangka filosofi negara, di mana konstitusi memuat aspirasi moral tertinggi suatu bangsa. Bagir Manan turut menyatakan bahwa konstitusi bukan hanya alat legitimasi hukum, tetapi juga cermin nilai-nilai yang diyakini benar oleh masyarakat. Oleh sebab itu, dalam menilai keabsahan suatu kebijakan, tidak cukup hanya mengacu pada legalitas formal, tetapi juga pada kesesuaiannya dengan semangat moral konstitusi, yakni Pancasila dan cita-cita kemerdekaan (Manan, 1994). Konstitusi sebagai janji moral juga mengikat pemerintah dan parlemen untuk tidak melahirkan regulasi yang diskriminatif, eksploitatif, atau melanggar martabat manusia. Prinsip-prinsip seperti keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus dijadikan tolok ukur utama dalam setiap produk hukum dan kebijakan publik.
Kritik Etis Terhadap Hukum dan Kebijakan
Tidak semua kebijakan yang sah secara hukum dapat dibenarkan secara moral. Konsep constitutional complaint muncul sebagai bentuk partisipasi warga untuk menguji apakah suatu kebijakan selaras dengan nilai dasar konstitusi. Dalam praktiknya, judicial review oleh Mahkamah Konstitusi merupakan wujud mekanisme formal dari kontrol moral terhadap kekuasaan legislatif. Namun lebih dari itu, warga juga perlu dilatih untuk mengembangkan kesadaran etis terhadap kebijakan negara. Saldi Isra dalam "Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang di Indonesia" menjelaskan bagaimana banyak undang-undang yang dibuat justru menjauh dari aspirasi rakyat dan lebih mencerminkan kepentingan oligarki politik. Oleh karena itu, ia menyerukan pentingnya penguatan partisipasi publik dan transparansi dalam proses legislasi, agar hukum benar-benar berpihak kepada keadilan substantif (Isra, 2009). Dengan demikian, evaluasi terhadap kebijakan publik tidak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip moral konstitusi. Kebijakan yang menindas, meski legal, tet ap tidak sah secara etik. Inilah pentingnya mengembangkan civic ethics sebagai bagian dari kesadaran konstitusional warga negara.
Referensi
Doni Ferdio I. D., Devin Findi, Ihsan Setiaji Bagus Utomo, M. Hanif Amirudin, Renaldi Abdillah, Hidayat Nur Fikri, Ellyas Sugiharto, Andi Susanto, M. Faiquddin Putra, & Suyono Suyono. (2024). Pendekatan Filosofis dalam Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Berbasis Pembukaan UUD 1945 di Abad Ke-21. Student Research Journal, 2(6), 251–259. https://doi.org/10.55606/srj-yappi.v2i6.1672
Riyanto, E. A. (2003). KRISIS PAHAM KENEGARAAN : TANTANGAN ETIKA HAK DAN KEWAJIBAN DALAM KONSTITUSI INDONESIA. 3.
Notonagoro. (1975). Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh.
Latif, Yudi. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Asshiddiqie, Jimly. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers. Manan, Bagir. (1994). Teori dan Hukum Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press.
Indrayana, Denny. (2008). The Indonesian Constitutional Reform, 1999–2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition. Jakarta: Komnas HAM & LIPI.
Wignjosoebroto, Soetandyo. (2007). Negara Hukum dan Demokrasi Konstitusional di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 37(4).
Isra, Saldi. (2009). Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers