Blog Details

Featured blog image
CIVIC

Media dalam demokrasi modern menghadapi ancaman hoaks dan disinformasi

Author

M. Alif Akbar

Kata media berasal dari bahasa Latin medium yang secara harfiah berarti “sesuatu yang berada di tengah” atau “perantara”. Makna tersebut kemudian berkembang hingga mengacu pada sesuatu yang bersifat publik, dimiliki bersama, atau bersifat mediasi, sehingga kerap dipahami sebagai ruang publik (locus publicus). Media berfungsi menjembatani dua ranah (ranah privat dan ranah publik) dengan tujuan menemukan kemungkinan-kemungkinan interaksi sosial dalam kehidupan bersama. Bentuk media pun sangat beragam, mencakup dimensi fisik seperti alun-alun, lapangan, teater, atau tempat pertemuan, hingga dimensi nonfisik seperti surat kabar, radio, televisi, internet, serta ruang interaksi sosial virtual. Pada era kontemporer, wujud nonfisik inilah yang paling dominan digunakan dalam praktik kehidupan demokratis. Hakikat keberadaan media, dengan demikian, adalah menyediakan arena di mana publik dapat bertukar pikiran, menyampaikan kepentingan, dan terlibat secara bebas dalam isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama (CIPG, 2012).

Gagasan ini sejalan dengan pemikiran Jurgen Habermas mengenai public sphere, yang memandang ruang publik sebagai arena tempat individu-individu privat mendiskusikan persoalan bersama hingga akhirnya menghasilkan opini publik. Dengan dukungan media, gagasan personal dapat dengan cepat melebar menjadi wacana kolektif. Pandangan ini penting, bukan hanya karena menunjukkan bagaimana rasionalitas publik dibentuk, tetapi juga karena menegaskan bahwa batas antara ranah privat dan publik harus dipahami dengan hati-hati. Hal ini sekaligus menegaskan keterkaitan erat antara ranah publik dan politik (Habermas, 1989).

Dalam Konteks demokrasi ketersedian media atau saluran komunikasi yang bebas distorsi, menjadi sarana penting untuk mewujudkan partisipasi yang setara di ruang publik. Ruang publik inilah yang memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan masyarakat luas secara terbuka. Kehadiran kanal komunikasi yang objektif dan netral berperan besar dalam memberi kesempatan kepada kelompok minoritas untuk lebih aktif terlibat. Dengan demikian, komunikasi yang tidak terdistorsi dapat menjadi alat pemberdayaan bagi mereka dalam memperjuangkan posisi yang sejajar serta menuntut hak-hak yang sama. Perkembangan teknologi media menambah dimensi baru bagi ruang publik tersebut, media digital membuat dunia global dapat diakses secara lokal sekaligus membuka bentuk partisipasi baru, di mana setiap individu memiliki peluang untuk terlibat dalam isu-isu global. Fenomena ini tidak hanya memperluas cakrawala interaksi, tetapi juga meningkatkan kesadaran sosial masyarakat, sebab mereka mulai menghubungkan isu global dengan implikasinya terhadap kondisi lokal. Kemampuan media menciptakan pola partisipasi baru inilah yang mendukung penyebaran nilai-nilai demokrasi hingga ke wilayah paling terpencil sekalipun (CIPG, 2012).

Di Indonesia internet berkembang pesat dan membawa konsekuensi ganda, baik peluang maupun tantangan, bagi dinamika pemerintahan serta kehidupan politik. Kehadiran era digital telah merevolusi wajah politik Indonesia dengan cara yang berbeda dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi bukan hanya mengubah pola interaksi sosial, tetapi juga memberikan pengaruh besar terhadap praktik demokrasi dan tingkat partisipasi politik masyarakat (Elizamiharti & Nelfira, 2023).

Perkembangan media sosial, aplikasi berbagi informasi, serta berbagai perangkat digital telah membuka akses yang jauh lebih luas bagi masyarakat terhadap informasi politik sekaligus memberikan ruang partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Di tengah pesatnya era digital, publik kini bisa memperoleh berita, laporan, hingga opini politik dari beragam sumber yang tersedia secara daring, sesuatu yang dahulu hanya bisa diperoleh lewat media tradisional. Kemudahan ini tidak hanya mempercepat arus informasi, tetapi juga menghadirkan sarana baru bagi warga untuk terlibat aktif, seperti mengikuti diskusi daring, menandatangani petisi digital, atau bahkan terjun dalam kampanye politik melalui platform online. Bahkan dalam konteks demokrasi modern, media sosial  disebut sebagai pilar kelima. Jika teori trias politika menempatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai fondasi utama, perkembangan kemudian mengakui media massa sebagai pilar keempat karena perannya sebagai pengawas kekuasaan. Hal ini membuat partisipasi politik menjadi lebih terbuka dan inklusif, sehingga memungkinkan berbagai kelompok masyarakat ikut memengaruhi kebijakan publik (Elizamiharti & Nelfira, 2023).

Namun, peluang tersebut tidak datang tanpa tantangan. Seiring dengan meluasnya akses terhadap informasi politik, ancaman serius berupa disinformasi dan berita palsu juga semakin mencuat. Penyebaran konten yang menyesatkan dapat memengaruhi persepsi publik, memperdalam polarisasi, sekaligus merusak kualitas diskusi politik yang seharusnya berlangsung sehat dan kritis.  Disinformasi berpotensi besar menimbulkan kebingungan di masyarakat dan merusak kualitas ruang diskusi publik. Praktik manipulasi elektoral juga menjadi ancaman serius dalam partisipasi politik era digital. Aktor politik maupun pihak tertentu kerap memanfaatkan teknik manipulasi untuk membentuk opini publik, mengganggu proses pemilihan, bahkan menanamkan rasa tidak percaya terhadap sistem politik yang ada (Elizamiharti & Nelfira, 2023).

Untuk menghadapi tantangan tersebut, literasi digital dan kemampuan berpikir kritis menjadi bekal utama. Masyarakat perlu memiliki kecakapan dalam membedakan informasi yang sahih dari hoaks maupun bentuk disinformasi lain agar partisipasi politik tetap berjalan sehat. Upaya ini tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat sipil. Pemerintah berperan sebagai regulator sekaligus pelindung kepentingan publik; penyedia platform digital dituntut menciptakan ekosistem komunikasi yang aman, inklusif, dan bebas dari penyalahgunaan; sementara masyarakat sipil berfungsi sebagai pengawas independen serta motor penggerak bagi keberlanjutan partisipasi politik yang lebih konstruktif di ruang digital (Elizamiharti & Nelfira, 2023).

Referensi 

CIPG. (2012). Tentang media dan demokrasi. Centre for Innovation Policy & Governance.

Elizamiharti, E., & Nelfira, N. (2023). Demokrasi Di Era Digital: Tantangan Dan Peluang Dalam Partisipasi Politik. Jurnal Riset Multidisiplin dan Inovasi Teknologi, 2(01), 61–72. https://doi.org/10.59653/jimat.v2i01.342

Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere.

 

  • Buku 
  1. Buku Media dan Dinamika Demokrasi karya Anang Sujoko, Muhtar Haboddin, dan La Ode Machdani Afala 
  2. Komunikasi Politik, Demokrasi, Media Massa, dan Pemilihan Umum di Indonesia - Alfian Muhazir, S.Sos., M.A.
  3. Buku Hukum Media: Regulasi Media dalam Perspektif Ilmu Komunikasi - Anang Sujoko
  • Artikel Populer/Opini Publik 
  1. e-journal | Hoaks, Disinformasi, dan Ketahanan Nasional: Ancaman Teknologi Informasi terhadap Demokrasi
  2. e-journal | Disinformasi di Era Post-Truth: Ancaman terhadap Demokrasi dan Integritas Sosial
  3. e-journal | Cegah Penyebaran Misinformasi di Media Sosial melalui Literasi Digital

By: M Alif Abar