Blog Details

Featured blog image
CIVIC

Keterlibatan Komunitas dan Manajemen Relawan untuk Dampak Positif di Tingkat Lokal

Author

M. Alif Akbar

Keterlibatan komunitas menjadi elemen fundamental dalam pembangunan lokal karena masyarakat setempat bukan sekadar penerima manfaat, melainkan aktor utama yang memahami kondisi sosial, budaya, dan ekonomi wilayahnya. Partisipasi aktif komunitas memungkinkan program pembangunan lebih tepat sasaran, inklusif, dan berkelanjutan, sebab mereka memiliki kearifan lokal yang sering kali tidak dimiliki oleh aktor eksternal. Pembangunan yang berbasis partisipasi masyarakat mendorong rasa kepemilikan (sense of ownership) dan memperkuat legitimasi sosial dari setiap kebijakan atau program yang dijalankan. Selain itu, hadirnya komunitas juga memperkuat kapasitas kolektif dalam menghadapi tantangan lokal, seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, maupun keterbatasan sumber daya, karena partisipasi masyarakat lokal tidak hanya menjaga keberlanjutan pembangunan, tetapi juga melestarikan kearifan lokal yang menjadi dasar terciptanya tata kelola yang adil dan inklusif (Prinsip Subsidiaritas KWN | PDF, n.d.). 

Jika kita meneliti lebih jauh apa yang dimaksud dengan komunitas maka akan kita dapati Istilah  komunitas berakar dari bahasa Latin communitas yang memiliki makna “kesamaan”. Dari kata tersebut kemudian lahir istilah communis yang merujuk pada sesuatu yang bersifat umum, dimiliki bersama, atau dibagikan oleh banyak orang. Pemahaman tentang komunitas dapat dijelaskan melalui beberapa ciri pokok. Pertama, terbentuk dari sekelompok individu. Kedua, di antara anggota kelompok tersebut terjadi interaksi sosial yang berkelanjutan. Ketiga, terdapat kesamaan tujuan maupun kebutuhan yang menyatukan mereka. Keempat, tersedia ruang atau wilayah yang memungkinkan terjadinya kebersamaan, baik dalam bentuk fisik maupun waktu yang dibagikan (Prasetiyo, 2017).

Komunitas pada dasarnya adalah wujud masyarakat yang lahir dari adanya ikatan emosional dan hubungan timbal balik antar anggotanya. Konsep ini menekankan bahwa keterhubungan dalam komunitas tidak hanya sebatas komunikasi atau hubungan formal, melainkan didorong oleh rasa kebersamaan yang saling menguntungkan. Apabila hubungan yang terjadi bersifat satu arah, tidak timbal balik, atau tidak bertumpu pada dimensi emosional serta pemenuhan kebutuhan bersama, maka struktur sosial tersebut belum dapat disebut sebagai komunitas (Prasetiyo, 2017).

Konsep Keterlibatan Komunitas

Keterlibatan komunitas atau partisipasi masyarakat merujuk pada peran aktif warga dalam mempengaruhi proses pembangunan dan turut serta dalam mengambil manfaat dari hasilnya. Menurut United Nations (1981), partisipasi masyarakat dipahami sebagai keterlibatan aktif serta pembagian tanggung jawab dan peran di antara pelaku Pembangunan, atau keterlibatan sadar dalam interaksi sosial, berdasar kesetiaan, nilai, dan tanggung jawab bersama. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat terbagai bentuk yang mencerminkan dinamika sosial setempat. Salah satu bentuk klasik adalah musyawarah, yaitu forum dialog terbuka dimana masyarakat bersama pemangku kepentingan menyepakati arah dan keputusan pembangunan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi, termasuk partisipasi dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan pemanfaatan hasil (Fitria et al., 2023).

Pemahaman mengenai definisi dan bentuk partisipasi masyarakat memberikan gambaran awal tentang bagaimana komunitas dapat berperan aktif dalam pembangunan. Namun, agar partisipasi tersebut tidak hanya bersifat seremonial atau formalitas belaka, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam pelaksanaannya. Prinsip inilah yang memastikan keterlibatan komunitas berjalan secara inklusif, adil, transparan, serta berkelanjutan, sehingga mampu menghasilkan dampak sosial yang nyata dan dirasakan oleh semua pihak.

Prinsip-prinsip dasar seperti inklusivitas, partisipasi aktif, dan keberlanjutan menjadi pijakan penting dalam mewujudkan keterlibatan komunitas yang bermakna sekaligus berjangka panjang. Keterlibatan masyarakat idealnya berlandaskan pada sejumlah nilai utama. Pertama, prinsip cakupan (inclusivity), yakni memastikan seluruh kelompok yang terdampak dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan tanpa ada yang terpinggirkan. Kedua, prinsip kesetaraan dan kemitraan (equal partnership) yang menekankan bahwa setiap pihak memiliki hak dan kapasitas untuk berinisiatif serta berkontribusi, tanpa terikat oleh struktur hierarki yang kaku. Ketiga, prinsip transparansi, yaitu membangun pola komunikasi yang terbuka, sehingga tercipta ruang dialog yang sehat dan rasa saling percaya di antara para pemangku kepentingan. Keempat, prinsip pembagian kekuasaan dan tanggung jawab (sharing power and responsibility), di mana setiap pihak dilibatkan secara adil dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kegiatan. Kelima, prinsip pemberdayaan (empowerment) yang menekankan pentingnya transfer pengetahuan dan kapasitas, sehingga masyarakat mampu mengelola program secara mandiri dan berkelanjutan (Riadi, 2021).

Prinsip keberlanjutan menjadi aspek yang tak terpisahkan dalam kerangka pemberdayaan komunitas. Pembangunan yang inklusif harus berpijak pada empat dimensi, yaitu partisipasi, kemandirian, keragaman, serta keberlanjutan sosial dan ekologis (Riadi, 2021). 

Keterlibatan komunitas dan manajemen relawan menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks, salah satunya adalah keterbatasan sumber daya dan dukungan finansial. Minimnya dana membuat banyak program komunitas tidak berjalan optimal, baik dalam aspek pelatihan, pengawasan, maupun keberlangsungan kegiatan. Kondisi ini tercermin dalam berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa kekurangan sumber daya material dan finansial kerap menjadi penghambat utama dalam memastikan keberlanjutan partisipasi masyarakat. Tantangan lainnya terletak pada perbedaan kepentingan dalam komunitas. Komunitas bukanlah satu entitas homogen, melainkan terdiri atas kelompok-kelompok dengan tujuan dan kebutuhan yang berbeda. Perbedaan orientasi tersebut dapat menghambat keberhasilan program, seperti yang ditemukan dalam penelitian mengenai kemitraan universitas dengan masyarakat, di mana institusi pendidikan lebih berorientasi pada penguatan reputasi akademik, sedangkan masyarakat mengharapkan manfaat praktis dan langsung .

Selain faktor struktural tersebut, aspek sosial, budaya, dan politik juga memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat partisipasi. Norma tradisional, praktik budaya tertentu, dan bahkan tabu sosial dapat membatasi ruang keterlibatan masyarakat dalam program pembangunan. Di sisi lain, status sosial-ekonomi serta tingkat pendidikan turut memengaruhi peluang seseorang untuk berpartisipasi, di mana kelompok dengan akses sumber daya rendah cenderung lebih sulit terlibat aktif dalam kegiatan sukarela 

Melihat kompleksitas faktor yang memengaruhi partisipasi, maka menjadi jelas bahwa upaya meningkatkan keterlibatan komunitas tidak bisa dilakukan secara seragam dari atas ke bawah. Diperlukan suatu pendekatan yang mampu menempatkan kewenangan dan tanggung jawab pada level yang paling dekat dengan masyarakat, sambil tetap menjaga koordinasi dengan struktur yang lebih tinggi. Dalam kerangka inilah, prinsip subsidiaritas menjadi penting untuk dibahas, karena ia menawarkan landasan normatif dan praktis bagi pembagian peran antara komunitas lokal dan otoritas yang lebih luas dalam pembangunan sosial.

 

Prinsip subsidiaritas menyatakan bahwa keputusan dan tindakan sebaiknya diambil di tingkat yang paling dekat dengan individu atau unit yang terdampak, dan hanya ditangani oleh otoritas yang lebih tinggi jika benar-benar dibutuhkan. Istilah ini berasal dari bahasa Latin subsidium (bantuan), dan awalnya merujuk kepada fungsi cadangan dalam struktur militer Romawi. Dalam ranah filsafat politik modern dan etika sosial, subsidiaritas didefinisikan sebagai norma bahwa urusan seharusnya dikelola oleh struktur paling lokal yang mampu menyelesaikannya, sementara intervensi tingkat lebih tinggi hanya diperbolehkan bila diperlukan(Gosepath, 2005; Prinsip Subsidiaritas KWN | PDF, n.d.).

Di konteks hukum Uni Eropa, subsidiaritas diabadikan dalam Pasal 5(3) Treaty on European Union (TEU), yang menyatakan bahwa tindakan Uni hanya boleh diambil apabila tujuan tidak bisa dicapai secara memadai oleh negara anggota di tingkat lokal atau nasional, dan bisa lebih efektif ditangani di tingkat Uni. Analisis empiris dalam studi komparatif di Polandia dan Lithuania mendapati bahwa penerapan subsidiaritas turut membantu mencegah sentralisasi berlebih, menghindarkan duplikasi fungsi antar tingkat pemerintahan, serta menjaga kohesi sistem pemerintahan multi-level (Prinsip Subsidiaritas KWN | PDF, n.d.).

Secara historis, akar prinsip ini juga terkait dengan ajaran sosial Gereja Katolik, misalnya dalam ensiklik Quadragesimo Anno (1931), yang menekankan bahwa otoritas yang lebih tinggi tidak boleh mengambil alih fungsi yang dapat dilakukan secara otonom oleh komunitas di tingkat lebih rendah seperti keluarga atau kelompok lokal kecuali diperlukan demi kebaikan bersama.

 

Daftar Pustaka 

Fitria, D., Daulay, M. P., Ramadani, P., Nurhadijah, S., Lubis, L. N., & Ali, M. R. (2023). ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEGIATAN GOTONG – ROYONG DI DESA PENGGALANGAN. 4.

Gosepath, S. (2005). The Principle of Subsidiarity. In A. Follesdal & T. Pogge (Eds.), Real World Justice (Vol. 1, pp. 157–170). Springer-Verlag. https://doi.org/10.1007/1-4020-3142-4_9

Prinsip Subsidiaritas KWN | PDF. (n.d.). Scribd. Retrieved September 3, 2025, from https://id.scribd.com/document/464294265/Prinsip-subsidiaritas-KWN

Riadi,  muchlisin. (2021, September 15). Partisipasi Masyarakat (Prinsip, Jenis, Tingkatan dan Faktor yang Mempengaruhi). https://www.kajianpustaka.com/2020/01/partisipasi-masyarakat.html?utm_source=chatgpt.com

Prasetiyo, A. (2017). Peran komunitas One Day One Juz dalam pembentukan tradisi tilawatul Qur’an (Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Kediri). Repository IAIN Kediri. https://etheses.iainkediri.ac.id/12945/2/933702919_bab2.pdf