Upaya Negara dalam Menghadapi Persoalan Organisasi Masyarakat Sipil di Tengah Kemunduran Demokrasi Indonesia

Ditulis oleh Admin | 2025-10-07

Penulis : Dian Islami Natasya, Rina Rahma, Fadillah Mutia, Celly Sardia Devyanna Panjaitan, Sarah Febriana, Oki Pamungkas, Ahmad Shohibboniawan Wahyudi, Sonya Putri Utami, Moh. Dzikrillah, Petrus Antonius Lela Udak, Feby Ananda, Hidayat Syahid Misbah, Rahman

Editor : Musthafa Haidar Shahab

Abstrak

Artikel ini menganalisis tiga tantangan kritis yang dihadapi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Indonesia di tengah tren kemunduran demokrasi global dan nasional pada tahun 2025. Ketiga tantangan tersebut adalah: (1) penyempitan ruang sipil yang sistematis, (2) krisis keberlanjutan pendanaan, dan (3) lemahnya kapasitas organisasi serta disparitas yang tajam antarwilayah. Melalui metode studi literatur atas data sekunder dari lembaga riset terpercaya, artikel ini mengidentifikasi akar masalah dari masing-masing tantangan dan merumuskan strategi solutif yang bersifat kolaboratif dan multidimensi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan pada pendanaan asing, regulasi yang represif, dan kesenjangan kapasitas merupakan masalah struktural yang mengancam keberlangsungan OMS. Artikel ini menekankan pentingnya reformasi regulasi, inovasi model pendanaan hybrid, dan penguatan kapasitas kelembagaan melalui program inkubasi dan digitalisasi. Rekomendasi kebijakan diarahkan untuk mendorong sinergi antara pemerintah, OMS, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat dalam membangun ekosistem masyarakat sipil yang lebih resilien.

Kata kunci: Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), Demokrasi, Ruang Sipil, Pendanaan, Kapasitas Organisasi, Indonesia.

Konstelasi demokrasi Indonesia pada tahun 2025 berada pada persimpangan yang kritis. Setelah lebih dari dua dekade menjalani era reformasi, negara ini justru menghadapi tantangan besar dalam konsolidasi demokrasi, yang ditandai dengan tren stagnasi dan bahkan regresi dalam berbagai indikator kebebasan sipil (Amnesty International, 2025; Freedom House, 2024). Dalam konteks ini, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) sebagai pilar penting dalam mengawal hak asasi manusia, transparansi, dan partisipasi publik, menemui tantangan yang semakin kompleks dan multidimensi.

OMS, yang mencakup LSM, organisasi advokasi, lembaga riset independen, dan kelompok komunitas, telah lama menjadi motor penggerak kontrol sosial dan penyampaian aspirasi masyarakat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ruang geraknya semakin dipersempit. Laporan berbagai organisasi pemantau demokrasi internasional konsisten menunjukkan penurunan kebebasan sipil dan politik di Indonesia. Tekanan terhadap OMS tidak hanya datang dari negara melalui instrumen regulasi yang represif, tetapi juga dari masyarakat yang semakin terpolarisasi.

Artikel ini bertujuan untuk membedah tiga persoalan terbesar yang dihadapi OMS Indonesia saat ini, yaitu: (1) penyempitan ruang sipil, (2) krisis keberlanjutan pendanaan, dan (3) lemahnya kapasitas organisasi dan disparitas antarwilayah. Dengan menganalisis akar masalah dari masing-masing persoalan, artikel ini kemudian menawarkan gagasan strategis yang solutif serta mengidentifikasi peran aktor-aktor kunci yang harus terlibat dalam mengatasi tantangan tersebut. Penulisan artikel ini didasarkan pada studi literatur terhadap berbagai laporan penelitian, indeks global, dan publikasi akademis terkini untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan mutakhir.

Ruang gerak masyarakat sipil Indonesia mengalami penyempitan yang signifikan dalam satu dekade terakhir. Amnesty International (2025) dalam laporannya yang berjudul "27 Tahun Reformasi, Indonesia Alami Erosi Kebebasan Politik dan Hak-Hak Sosial" menyoroti bagaimana kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat semakin dibatasi. Indikator objektif lainnya dapat dilihat dari skor Indonesia dalam laporan Freedom House yang turun dari 62 (status "Partly Free") pada tahun 2019 menjadi 57 ("Partly Free") pada tahun 2024. Demikian pula, Indeks Kebebasan Pers yang dirilis Reporters Without Borders (2025) menempatkan Indonesia pada peringkat 127 dari 180 negara, mencerminkan lingkungan yang semakin tidak bersahabat bagi kerja-kerja jurnalistik dan advokasi.

Tekanan terhadap OMS termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari pengawasan ketat terhadap aktivitas, stigmatisasi sebagai "provokator" atau "antek asing", hingga kriminalisasi menggunakan perangkat hukum seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, dan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Regulasi-regulasi ini sering kali digunakan secara elastis untuk membungkam suara-suara kritis dan mengancam keberlangsungan organisasi.

Akar dari penyempitan ruang sipil ini bersifat multidimensi: 1) Penurunan Komitmen Elite Politik: Terjadi pergeseran prioritas pemerintah dari prinsip-prinsip demokrasi substantif menuju pendekatan stabilitas dan keamanan yang lebih represif. 2) Ketergantungan OMS pada Negara: Banyak OMS masih bergantung pada pengakuan dan kebijakan negara, sementara payung hukum yang melindungi ruang partisipasi masih lemah. 3) Melemahnya Checks and Balances: Dominasi kekuatan eksekutif atas lembaga legislatif dan yudikatif membuat pengawasan terhadap kekuasaan menjadi tidak optimal.

 

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan strategi yang komprehensif: 1) Reformasi Regulasi: Mendesak untuk melakukan revisi mendasar terhadap UU ITE, KUHP, dan UU Ormas yang bermasalah. Koalisi OMS, jurnalis, dan anggota parlemen yang progresif dapat menjadi motor penggerak advokasi ini. 2) Konsolidasi dan Advokasi Lintas Isu: Membangun solidaritas yang kuat antar-OMS dengan isu yang beragam (lingkungan, HAM, antikorupsi, dll.) untuk memperkuat daya tahan gerakan. 3) Pelibatan Generasi Muda dan Digitalisasi: Memanfaatkan platform digital untuk kampanye kebebasan sipil yang lebih masif dan inklusif, dengan melibatkan generasi muda sebagai agen perubahan. 4) Optimalisasi Peran Media: Media konvensional dan digital harus aktif membangun narasi counter-represif dan menyediakan kanal edukasi bagi publik mengenai hak-hak sipilnya. Aktor kunci yang harus terlibat: OMS nasional dan lokal, legislator, pemerintah, media massa, dan generasi muda.

Masalah klasik yang kembali mengemuka dengan keras adalah krisis pendanaan. Status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle-income country) telah mengakibatkan penurunan drastis dukungan pendanaan dari donor internasional. Menurut laporan Universitas Gadjah Mada (2025), banyak OMS yang kesulitan mempertahankan operasionalnya. Dana hibah yang masih tersedia sering kali datang dengan syarat yang ketat dan tidak fleksibel, menyebabkan OMS fokus pada aktivitas yang bersifat transaksional dan pelaporan proyek, alih-alih pada penguatan kapasitas jangka panjang.

Krisis pendanaan ini berakar pada Struktur Pembiayaan yang Rentan merupakan ketergantungan yang terlalu tinggi pada pendanaan asing, dengan minimnya kontribusi dari pemerintah atau filantropi domestik. Berikutnya yaitu Lemahnya Inovasi Finansial, Banyak OMS belum mampu mengembangkan sumber pemasukan alternatif yang berkelanjutan, seperti social enterprise atau skema crowdfunding yang masif. Terakhir yaitu Minimnya Insentif bagi Sektor Swasta: Kurangnya kerangka insentif fiskal (seperti tax deduction) yang memadai untuk mendorong perusahaan domestik menjadi donor atau mitra strategis OMS.

Untuk menciptakan keberlanjutan pendanaan, diperlukan terobosan:

  1. Membangun Model Hybrid-Pendanaan: Mengombinasikan berbagai sumber dana, seperti hibah terbatas, crowdfunding masyarakat, pendapatan dari social enterprise, dan kemitraan dengan sektor bisnis (CSR).
  2. Insentif Fiskal dari Pemerintah: Pemerintah perlu merancang kebijakan yang memberikan insentif perpajakan bagi perusahaan yang menyumbang untuk program-program masyarakat sipil, atau skema matching fund.
  3. Mendorong Endowment Fund Nasional: Membentuk dana abadi (endowment) yang dikelola secara profesional untuk mendukung OMS lokal yang bergerak di isu-isu strategis.
  4. Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan: OMS harus meningkatkan transparansi laporan keuangannya untuk membangun kepercayaan donor domestik dan publik.

Aktor kunci yang harus terlibat: OMS (dalam hal pengelolaan keuangan), pemerintah (regulator dan pemberi insentif), sektor swasta (sebagai donor dan mitra), serta publik (melalui crowdfunding).

Banyak OMS, khususnya di level akar rumput dan di luar Jawa, menghadapi keterbatasan kapasitas sumber daya manusia, manajemen organisasi, dan inovasi strategis. Studi yang dilakukan SMERU Research Institute (2024) memetakan disparitas yang tajam antara OMS di wilayah Barat (Jawa-Sumatera) dengan OMS di wilayah Tengah dan Timur Indonesia. Perbedaan ini terlihat dari sisi jaringan, akses ke sumber daya, dan pengaruh dalam proses kebijakan. Banyak OMS yang masih dikelola secara tradisional, kurang adaptif terhadap teknologi digital, dan kurang terampil dalam membangun kolaborasi lintas isu.

Disparitas kapasitas ini disebabkan oleh:

  1. Kesenjangan Infrastruktur dan Akses Pendidikan: OMS di daerah tertinggal sering kali tersisih dari program penguatan kapasitas nasional dan akses terhadap informasi.
  2. Minimnya Program Pendampingan: Kurangnya program pelatihan dan mentoring kelembagaan yang berkelanjutan dan sesuai dengan konteks lokal.
  3. Budaya Patronase: Budaya politik yang patronistik di beberapa daerah membuat OMS sulit untuk berkembang secara mandiri dan inovatif.

Strategi untuk mengatasi kesenjangan ini meliputi:

  1. Program Inkubasi dan Pelatihan Berkelanjutan: Menyelenggarakan program pelatihan manajemen organisasi, advokasi, dan digitalisasi yang terstruktur, khususnya bagi OMS lokal.
  2. Pemetaan Kebutuhan Spesifik Daerah: Donor dan pemerintah perlu mendasarkan intervensinya pada pemetaan kebutuhan yang spesifik untuk setiap daerah.
  3. Kolaborasi dan Transfer Pengetahuan: Mendorong kemitraan antara OMS yang mapan dengan OMS akar rumput untuk berbagi pengetahuan (know-how) dan memperluas jejaring.
  4. Digitalisasi Sistem Manajemen: Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi manajemen internal, advokasi, dan delivery layanan kepada masyarakat.

Aktor kunci yang harus terlibat: OMS mapan dan konsultan (sebagai mentor), pemerintah pusat dan daerah (fasilitator akses), perguruan tinggi (penyedia riset dan pelatihan), dan kelompok masyarakat akar rumput (sebagai agen perubahan). Tiga persoalan utama penyempitan ruang sipil, krisis pendanaan, dan lemahnya kapasitas organisasi beserta disparitas wilayah adalah tantangan struktural yang saling terkait dan mengancam masa depan OMS Indonesia. Jika tidak diatasi dengan strategi yang kolaboratif dan berkelanjutan, peran OMS sebagai pilar penopang demokrasi akan semakin melemah.

Artikel ini merekomendasikan tiga langkah strategis utama:

  1. Reformasi Hukum: Pemerintah dan DPR perlu merevisi regulasi yang represif untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kerja-kerja OMS.
  2. Inovasi Pendanaan: Perlu dibangun ekosistem pendanaan yang hybrid dan inklusif, dengan melibatkan negara, sektor swasta, dan masyarakat.
  3. Penguatan Kapasitas Kelembagaan: Program penguatan kapasitas yang terstruktur, berkelanjutan, dan berbasis digital harus dijalankan untuk mengatasi kesenjangan antarwilayah.

Soliditas antar-OMS, kolaborasi yang erat dengan media, sektor swasta, akademisi, serta pelibatan aktif generasi muda akan membentuk ekosistem masyarakat sipil yang lebih resilien, adaptif, dan mampu menghadapi gelombang kemunduran demokrasi yang terjadi saat ini.







 

Daftar Pustaka

Amnesty International Indonesia. (2025). *27 Tahun Reformasi, Indonesia Alami Erosi Kebebasan Politik dan Hak-Hak Sosial*. Diakses dari https://www.amnesty.id/

CIVICUS. (2024). State of Civil Society Report 2024. Diakses dari https://www.civicus.org/

Freedom House. (2024). Freedom in the World 2024: Indonesia. Diakses dari https://freedomhouse.org/country/indonesia

Reporters Without Borders. (2025). World Press Freedom Index 2025. Diakses dari https://rsf.org/en/index

SMERU Research Institute. (2024). Strengthening Indonesian Civil Society Organizations (CSOs): A Baseline Study. Diakses dari https://smeru.or.id/

The Economist Intelligence Unit. (2024). Democracy Index 2024: Indonesia. Diakses dari https://www.eiu.com/

Universitas Gadjah Mada. (2025). Civil Society Organizations in Indonesia Decline Due to Limited Funding. Diakses dari https://ugm.ac.id/

World Bank. (2023). Indonesia’s Civil Society Funding Landscape. Diakses dari https://www.worldbank.org/