Sistem Ekonomi Yang Menindas dan Oligarki
Ditulis oleh M. Alif Akbar | 2025-12-13
Pendahuluan
Meningkatnya ketimpangan ekonomi serta terkonsentrasinya kekayaan pada segelintir elite memperlihatkan persoalan serius dalam upaya membangun demokrasi yang adil dan inklusif di Indonesia. Prinsip kedaulatan rakyat sejatinya menjadi landasan utama demokrasi karena merepresentasikan kehendak mayoritas warga negara. Namun dalam praktiknya, suara rakyat kerap terpinggirkan oleh dominasi kelompok oligarki yang menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi. Fenomena ini semakin menguat akibat tingginya biaya politik dalam proses pemilu, yang pada akhirnya melahirkan hubungan timbal balik antara elite politik dengan oligarki. Konsekuensinya, kelompok oligarki tidak hanya berperan sebagai pengendali sumber daya, tetapi juga turut menentukan regulasi sekaligus pelaksanaan kebijakan dalam sistem ketatanegaraan. Kondisi tersebut menjadikan pencapaian ideal demokrasi yang sejati semakin sulit terwujud (Sunardi, 2020).
Oligarki merupakan bentuk konsentrasi kekuasaan yang berada di tangan segelintir individu atau kelompok dengan pengaruh besar di bidang politik dan ekonomi. Fenomena ini menjadi salah satu hambatan serius bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Pasca reformasi, Indonesia memang bergerak menuju sistem demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif, namun kenyataannya, peran oligarki justru semakin menguat. Data Staf IDEAS yang diolah dari Forbes menunjukkan peningkatan signifikan jumlah miliuner di Indonesia antara tahun 2006 hingga 2022. Jika pada tahun 2006 hanya terdapat tujuh orang atau keluarga dengan kekayaan di atas US$ 1 miliar (setara Rp14,9 triliun), maka pada 2022 jumlah tersebut melonjak menjadi 46. Laporan Oxfam bersama INFID bahkan menegaskan bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan total kekayaan 100 juta penduduk miskin. Fakta ini menegaskan bahwa keberadaan oligarki, baik di bidang politik maupun ekonomi, menambah kerumitan dalam usaha mewujudkan demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dan keadilan sosial (Sunardi, 2020).
Ekonomi Konstitusi
Pembangunan ekonomi nasional seharusnya berlandaskan asas kekeluargaan sebagaimana tercermin dalam Pancasila serta UUD NRI Tahun 1945. Proses pembangunan tersebut perlu dijalankan secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan agar mampu menempatkan Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi idealnya senantiasa diwujudkan melalui prinsip demokrasi ekonomi yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan amanat konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 berfungsi sebagai pijakan tertinggi dalam penyusunan kebijakan ekonomi, yang sekaligus menjadi dasar hukum dan arah politik ekonomi nasional. Pasal ini secara tersirat mengatur sistem perekonomian dan memberi garis besar orientasi politik ekonomi negara. Sebagai contoh, kebijakan ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1966), setelah Indonesia kembali menggunakan UUD 1945, sangat berbeda dengan kebijakan ekonomi di era Orde Baru (1966–1998). Posisi Pasal 33 UUD 1945 menegaskan kedudukannya sebagai landasan politik ekonomi Indonesia. Mubyarto mengutip pandangan Mohammad Hatta yang membedakan antara politik ekonomi dengan tujuan ekonomi. Baik Hatta, Soeharto, maupun Mubyarto sama-sama menegaskan bahwa hingga dekade 1980-an sistem ekonomi nasional, khususnya berbasis koperasi, belum sepenuhnya terimplementasi. Kondisi perekonomian Indonesia dewasa ini bahkan menunjukkan kecenderungan bergeser dari amanat UUD 1945 yang menekankan perlindungan bagi seluruh rakyat serta pencapaian kesejahteraan umum. Pemerintah tampak seolah mengabaikan tanggung jawab konstitusionalnya dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara (Pratama, 2018).
Negara memiliki hak penuh untuk menguasai sekaligus mengelola sumber daya alam yang terkandung di dalam wilayahnya. Apabila peran negara absen dalam penyelenggaraan perekonomian yang seharusnya berlandaskan konstitusi, maka pembangunan cenderung diarahkan pada capaian-capaian jangka pendek yang bersifat pragmatis. Hal tersebut membuat kebijakan ekonomi hanya bertumpu pada mekanisme pasar semata. Tidak jarang, hukum diposisikan sekadar sebagai instrumen untuk mengokohkan kekuasaan dan memuluskan kepentingan ekonomi tertentu. Padahal, kebijakan ekonomi semestinya menjadi perangkat utama negara dalam mengatur jalannya perekonomian. Sebagai landasan tertinggi, arah kebijakan ekonomi seyogyanya berpegang pada amanat konstitusi, bukan sekadar menyesuaikan kepentingan sesaat maupun tekanan pasar global (Pratama, 2018).
Dalam praktiknya, kebijakan ekonomi sering kali berjalan tanpa arah yang jelas karena hanya mengikuti arus perubahan ekonomi dunia. Indonesia, sebagai negara berdaulat, justru menghadapi kesulitan dalam mengimplementasikan kedaulatan ekonominya sendiri. Pembangunan ekonomi lebih banyak bertumpu pada pengalaman empiris, sementara konstitusi diperlakukan sebatas simbol tanpa fungsi nyata dalam mengendalikan laju Pembangunan (Hermanto et al., n.d.). Konstitusi yang sejatinya merupakan pijakan tertinggi dalam perumusan kebijakan ekonomi tidak dijadikan acuan utama. Akibatnya, arah pembangunan kerap menyimpang dari tujuan ekonomi yang telah digariskan dalam konstitusi. Hal ini semakin tampak ketika Indonesia terlibat dalam berbagai kerja sama ekonomi internasional, yang justru menjauhkan prinsip perekonomian nasional dari amanat Pasal 33 UUD 1945. Kondisi tersebut mendorong adanya amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945. Pasal ini dianggap terlalu membatasi ruang bagi masuknya investasi asing ke Indonesia. Perubahan yang dilakukan melalui Amandemen Keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002 khususnya penambahan ayat (4) dipicu oleh kekhawatiran bahwa sistem ekonomi kerakyatan berbasis asas kekeluargaan dinilai tidak mampu menghadapi tantangan persaingan global dalam jangka panjang (Rama, n.d.). Di sisi lain, para penggagas perubahan juga meyakini bahwa ayat baru tersebut dapat menjawab tuntutan reformasi dan mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun demikian, hasil amandemen tersebut masih menyisakan perdebatan: apakah perubahan Pasal 33 dapat dipandang sebagai kemajuan dalam menyesuaikan diri dengan dinamika global, atau justru sebagai kemunduran dari prinsip dasar sistem ekonomi Pancasila yang menekankan keadilan sosial dan asas kekeluargaan (Pratama, 2018).
Istilah konstitusi ekonomi dapat dikatakan relatif baru dalam kajian hukum maupun ekonomi. Konsep ini pertama kali diperkenalkan melalui tulisan Wolfgang K. di Journal of Law and Economics pada tahun 1999. Dalam pandangannya, ia menyebut Franz Bohn sebagai tokoh yang mengembangkan gagasan tentang konstitusi ekonomi. Bohn merumuskan ide mengenai kompetisi yang dikaitkan dengan hukum serta meletakkan dasar teoretis tentang tata ekonomi (economic order), sehingga memperluas pemahaman kita mengenai konsep tersebut. Namun, upaya untuk menempatkan kebijakan ekonomi tertinggi dalam konstitusi sebenarnya telah muncul jauh sebelumnya, yakni sekitar tahun 1918. Pada periode tersebut, Uni Soviet telah mencantumkan prinsip-prinsip dasar kebijakan ekonomi dalam konstitusinya, sedangkan Republik Weimar Jerman pada tahun 1919 juga memasukkan dasar-dasar kebijakan ekonomi ke dalam konstitusinya. Dengan demikian, konstitusi yang memuat kebijakan ekonomi tertinggi suatu negara dikenal sebagai konstitusi ekonomi (Pratama, 2018).
Di Indonesia, istilah ini baru dikenal sejak tahun 1990-an ketika diperkenalkan oleh Jimly Asshiddiqie melalui disertasinya di Universitas Indonesia. Kemudian, pada tahun 2010, Prof. Jimly menguraikan konsep tersebut lebih jauh melalui karyanya berjudul Konstitusi Ekonomi. Dalam bukunya, ia menekankan bahwa konstitusi sebagai hukum tertinggi seharusnya menjadi pijakan utama dalam setiap penyusunan kebijakan ekonomi. Artinya, konstitusi ekonomi berfungsi sebagai seperangkat prinsip dasar yang wajib menjadi rujukan dalam merumuskan kebijakan ekonomi, agar arah pembangunan selalu sejalan dengan tujuan konstitusional. Tujuan utama dari konstitusi ekonomi adalah memastikan kesejahteraan serta keamanan ekonomi rakyat secara optimal, karena konstitusi menjamin hak-hak ekonomi warga negara. Tantangan terbesar bagi Indonesia saat ini adalah bagaimana menerapkan kerangka hukum dan prinsip konstitusi tersebut ke dalam praktik kebijakan ekonomi nasional. Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 merupakan wujud nyata dari konstitusi ekonomi Indonesia, yang menjadi dasar serta pedoman dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi. Implementasi pasal ini dapat diwujudkan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan maupun melalui arah politik ekonomi negara (Pratama, 2018).
Referensi
Hermanto, D. H. B., Si, M., & Rasmini, M. (n.d.). Konsep Sistem Ekonomi Indonesia.
Pratama, A. R. (2018). SISTEM EKONOMI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PANCASILA DAN UUD 1945. Veritas et Justitia, 4(2), 304–332. https://doi.org/10.25123/vej.3067
Rama, A. (n.d.). ANALISIS KESESUAIAN KONSTITUSI EKONOMI INDONESIA TERHADAP EKONOMI ISLAM.
Sunardi, S. (2020). OLIGARKI DI INDONESIA: RELASI KAPITAL YANG DOMINAN. JURNAL POLITIK PROFETIK, 8(2), 313. https://doi.org/10.24252/profetik.v8i2a7
Rekomendasi bahan bacan
- Buku
- Mengenal Pendekatan Ekonomi Konstitusi
- Sistem Ekonomi yang Menindas dan Oligarki
- Vedi R. Hadiz – Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis, dan Negara
- Jeffrey A. Winters – Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Indonesia Kontemporer
- Mubyarto – Ekonomi Pancasila
- Artikel Populer/Opini Publik
- "Analisis Pengaruh Oligarki Terhadap Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia"
- "The Structural Dynamics of Corruption: Artificial Society Approach" – Hokky Situngkir
- Dokumen Resmi
- "Oligarki Kekuasaan Dalam Kaca Mata Vedi R. Hadiz" – Suluh Pergerakan
- "Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Indonesia Kontemporer" – IndoProgress
By: M Alif Abar
Berita Lainnya
-
Edukasi Politik dan Keterlibatan Kita dalam Demokrasi Digital Citizenship dan Warna dalam Perbedaan
| 2025-12-13 -
Etika Publik Dan Tanggung Jawab sosial, perilaku sosial dan perubahan sosial
| 2025-12-13 -
System Politik di Indonesia dan Lembaga Politik di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Pemilu dan Praktik Pemilihan Umum di Indonesia
| 2025-12-13 -
Mengenal Teori-teori Besar Tentang Cara Melanggengkan Kekuasaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Ekonomi Yang Menindas dan Oligarki
| 2025-12-13 -
Histori dan Tumbuh Kembang Partisipasi Politik di Indonesia Dinamika Perkembangan Partisipasi Politik dari Masa ke Masa
| 2025-12-13 -
Kekuatan Lokal dalam Partisipasi dan Representasi Politik
| 2025-12-13 -
Media dalam demokrasi modern menghadapi ancaman hoaks dan disinformasi
| 2025-12-13 -
Keterlibatan Komunitas dan Manajemen Relawan untuk Dampak Positif di Tingkat Lokal
| 2025-12-13