Relasi, Peran, dan Tantangan Penguatan Organisasi Masyarakat Sipil (termasuk masyarakat sipil) dalam Negara Demokrasi

Ditulis oleh M. Alif Akbar | 2025-12-12

Masyarakat sipil (civil society) kini dipandang sebagai alternatif penting yang melengkapi peran negara dan pasar. Di banyak negara berkembang, organisasi masyarakat sipil (OMS) memegang peranan kunci dalam mendukung pembangunan yang partisipatif, mendorong pemberdayaan masyarakat, serta memperkuat praktik demokrasi. OMS mencerminkan kapasitas masyarakat untuk menyuarakan kepentingan bersama dan memperkuat rasa kebersamaan sosial. Menurut United Nations Development Programme (UNDP), OMS mencakup semua organisasi yang tidak berorientasi pasar dan bukan bagian dari struktur pemerintahan, di luar institusi keluarga. OMS terbentuk ketika masyarakat mengorganisasi diri guna mencapai kepentingan bersama di ruang publik. Organisasi ini berperan penting dalam membantu warga memperjuangkan hak-haknya, membentuk kebijakan publik, menjalin kemitraan, serta mengawasi pelaksanaan program-program pembangunan (Mäki et al., 2013).

Salamon mendefinisikan OMS dengan beberapa karakteristik utama: pertama, bersifat privat, artinya OMS berdiri di luar sistem pemerintahan resmi; kedua, non-profit, yakni tidak bertujuan menghasilkan keuntungan pribadi; ketiga, otonom, yaitu bebas dari kontrol langsung pemerintah maupun korporasi; dan keempat, bersifat sukarela, artinya keanggotaan di dalamnya tidak berdasarkan paksaan (Hadi, 2010). Dalam praktiknya, OMS kerap disebut dengan berbagai istilah lain seperti lembaga masyarakat sipil, gerakan sosial, organisasi nirlaba, organisasi non-pemerintah (NGO), sektor ketiga, organisasi sukarela, hingga kelompok advokasi atau kelompok kepentingan tertentu. Secara umum, OMS bertujuan untuk mengidentifikasi persoalan utama di masyarakat, menyuarakan isu-isu publik, memberdayakan kelompok rentan, menjadi aktor independen dalam proses perumusan kebijakan, serta menyediakan ruang diskusi yang konstruktif untuk bertukar gagasan dan informasi.

Berdasarkan tujuan utamanya, OMS dapat dibedakan ke dalam lima kategori. Pertama, OMS keagamaan, meskipun tidak secara eksplisit menyebarkan ajaran agama dalam kegiatan programnya. Fokus utama mereka mencakup layanan kesehatan, pendidikan, bantuan kebutuhan dasar, dan respons terhadap kondisi darurat. Kedua, OMS berbasis komunitas, yang menitikberatkan pada solidaritas sosial, pemanfaatan sumber daya lokal, dan pembangunan berbasis masyarakat. Ketiga, OMS filantropi, yang menyediakan layanan kemanusiaan tanpa memandang latar belakang agama. Keempat, OMS profesional, yang bergerak dalam bidang yang memerlukan keahlian teknis seperti isu lingkungan atau keuangan, serta menghasilkan publikasi-publikasi ilmiah. Kelima, serikat pekerja, yang mewakili kepentingan kelompok profesi atau sektor tertentu (Mäki et al., 2013).

Hubungan antara OMS dan negara memiliki dinamika yang unik. Di satu sisi, OMS membutuhkan negara sebagai dasar legal dalam pendiriannya. Di sisi lain, negara memerlukan OMS untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Hubungan keduanya bersifat saling membutuhkan, meski bentuk interaksinya dapat berbeda tergantung pada kesepakatan serta orientasi tujuan masing-masing OMS. Dalam pelaksanaan programnya, para aktor OMS memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam membangun masyarakat. Iding Rosyidin mengklasifikasikan peran OMS ke dalam empat kategori: pertama, sebagai penghubung antara aspirasi masyarakat dan pemerintah; kedua, sebagai advokat yang membela hak-hak masyarakat yang terabaikan; ketiga, sebagai katalisator dalam mendorong perubahan sosial; dan keempat, sebagai mobilisator yang mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam skala luas (Heryanto dkk, 2019).

Di Indonesia, konsep masyarakat sipil sudah dikenal sejak era Orde Lama dan terus berkembang hingga kini. Pada masa Orde Lama, beberapa OMS bahkan memiliki afiliasi militer seperti DI/TII dan RMS. Pada masa Orde Baru, OMS lebih diidentikkan dengan gerakan mahasiswa dan tokoh-tokoh publik seperti Kwik Kian Gie. Era reformasi di bawah Presiden Habibie ditandai dengan munculnya OMS yang memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste, seperti Fretilin. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Gus Dur hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), OMS berkembang lebih beragam, termasuk partai politik, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), serta organisasi pemantau seperti Indonesia Corruption Watch (ICW).

Ancaman Bagi Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia 

Keberadaan Organisasi masyarakat di Indonesia tidak lepas dari berbagai tantangan struktural dan situasional yang kompleks. Salah satu persoalan utama yang dihadapi adalah keberadaan regulasi yang membatasi kebebasan berserikat dan berpendapat. Beberapa produk hukum seperti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) memberi kewenangan besar kepada negara untuk secara sepihak membubarkan organisasi yang dinilai melanggar ketentuan tanpa proses peradilan yang adil. Hal ini berpotensi melemahkan independensi serta ruang ekspresi organisasi masyarakat sipil. Selain dari sisi hukum, ancaman politis dan tekanan kekuasaan juga menjadi hambatan nyata. Tidak sedikit NGO yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah mengalami tekanan seperti pelarangan kegiatan, intimidasi terhadap aktivisnya, bahkan pencabutan izin operasional. Pola seperti ini mencerminkan lemahnya perlindungan negara terhadap hak-hak dasar warga, khususnya hak untuk bersuara dan berpartisipasi dalam proses pembangunan(Wardani, n.d.).

Seiring berjalannya waktu, transformasi sosial-budaya juga memberikan tantangan tersendiri. Meningkatnya intoleransi terhadap kelompok minoritas, perbedaan pandangan, dan semakin sempitnya ruang dialog publik membuat peran organisasi masyarakat sipil sebagai penyeimbang negara dan pasar semakin sulit dijalankan. Dalam konteks ini, demokrasi deliberatif mengalami kemunduran, karena kebebasan berorganisasi menjadi ruang yang penuh risiko. Dalam konteks transisi menuju masa depan (2024–2025), terdapat sejumlah ancaman yang diprediksi akan tetap atau bahkan semakin relevan (Wardani, n.d.). Berdasarkan dinamika politik dan pengalaman sebelumnya, tantangan-tantangan yang dihadapi organisasi masrakat sipil antara lain:

  1. Situasi Politik yang Tidak Stabil
    Ketidakpastian politik dalam masa transisi, seperti menjelang atau pasca pemilu, dapat menghambat ruang gerak organisasi sipil. Ketika sistem politik tidak menjamin partisipasi inklusif, organisasi sipil kerap menjadi sasaran marginalisasi .
  2. Karakter Otoritarian Rezim Politik
    Pemerintahan yang tidak mendukung keterbukaan dan partisipasi publik berpotensi menggunakan instrumen kekuasaan untuk membungkam suara kritis dari masyarakat sipil.
  3. Hubungan yang Tidak Seimbang dengan Pemerintah
    Ketika relasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil bersifat konfrontatif atau tidak terjalin dengan baik, potensi kolaborasi menjadi terhambat. Padahal, kerja sama antara kedua belah pihak sangat penting dalam menciptakan kebijakan yang inklusif.
  4. Kontrol Kekuasaan yang Tidak Transparan
    Pengelolaan kekuasaan yang tidak akuntabel dan cenderung represif akan melemahkan kapasitas advokasi organisasi masyarakat sipil. Dalam sistem seperti ini, kritik cenderung dibungkam, bukan didengar.
  5. Kendala Finansial
    Banyak organisasi masyrakat sipil mengalami keterbatasan dalam pendanaan, apalagi jika pemerintah membatasi akses terhadap dana asing. Situasi ini mengancam keberlanjutan program-program sosial yang mereka jalankan.
  6. Kesulitan dalam Pengembangan Program Pembangunan
    Kompleksitas masalah sosial seperti kemiskinan, pendidikan, dan ketimpangan sering kali menghambat efektivitas program kerja organisasi masyarakat sipil. Ditambah lagi, kurangnya dukungan kebijakan dan sinergi antar pemangku kepentingan turut memperberat tantangan operasional.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan reformasi struktural dan pendekatan kolaboratif yang menempatkan organisasi masyarakat sipil sebagai mitra strategis dalam pembangunan. Pemerintah harus menyediakan ruang yang inklusif dan aman bagi organisasi sipil untuk mengekspresikan pandangannya. Hal ini hanya bisa terwujud melalui kebijakan publik yang adil, transparan, dan menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga negara. Di sisi lain, masyarakat sipil juga perlu melakukan penguatan kapasitas internal, mulai dari manajemen organisasi, strategi advokasi, hingga kemampuan membangun kemitraan lintas sektor. Kolaborasi dengan lembaga internasional, media independen, dan akademisi juga menjadi penting untuk memperluas daya jangkau dan pengaruh organisasi dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi (Isgra, n.d.).

Daftar Pustaka 

Hadi, O. H. (2010). PERAN MASYARAKAT SIPIL DALAM PROSES DEMOKRATISASI. Makara Human Behavior Studies in Asia, 14(2), 117. https://doi.org/10.7454/mssh.v14i2.674

Heryanto dkk, G. G. (2019). Dokumen 137.

Isgra. (n.d.). Pluralisme Kewargaan.

Mäki, N., Varrall, M., Ahonen, S., Sabey, S., Davis, E., & China, U. (2013). Graphic designer Pablo Molina Petrovich. www.cn.undp.org

Wardani, R. (n.d.). Perkembangan Arah Non-Governmental Organization (NGO) serta Civil Society di Indonesia: Periode 2024-2025.

 

 Rekomendasi bahan bacan 

  • Buku
  1. Larry Diamond (1999) – Developing Democracy: Toward Consolidation
  2. Robert Putnam – Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community
  3. Ariel Heryanto (ed.) – Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia
  4. Zainal Abidin Bagir (ed.) – Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Kewargaan
  • Artikel Ilmiah 
  1. "Civil Society dan Demokrasi di Indonesia" – Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (UGM)
  2. "Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia: Ketegangan dan Kolaborasi" – Jurnal Masyarakat & Budaya (LIPI/BRIN)
  3. "Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Advokasi Kebijakan Publik" – Jurnal Administratio
  4. "The Shrinking Space for Civil Society in Indonesia" – ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapore
  • Artikel Populer/Opini Publik
  1. "Ketika Masyarakat Sipil Dilemahkan Negara" – Tirto.id
  2. "Masyarakat Sipil dan Demokrasi: Masihkah Relevan?" – The Conversation Indonesia
  3. "Peran Strategis Masyarakat Sipil di Era Disrupsi Digital" – Kompasiana / LSM Watch
  • Dokumen Resmi
  1. YAPPIKA ActionAid – Kondisi Ruang Gerak Masyarakat Sipil di Indonesia (2021)
  2. INFID – Rekomendasi Kebijakan untuk Penguatan Civil Society di Indonesia
  3. TIFA Foundation – Civic Space di Indonesia: Analisis dan Strategi