Prinsip Subsidiaritas, Menyelesaikan Masalah Lokal dengan Solusi dari Akar Rumput dalam Pendakatan Budaya hingga Adat Istiadat

Ditulis oleh M. Alif Akbar | 2025-12-13

Prinsip subsidiaritas secara historis memiliki akar yang dalam dalam tradisi filsafat politik Barat, khususnya melalui ajaran sosial Gereja Katolik (Catholic Social Teaching) (Quadragesimo Anno (May 15, 1931), n.d.). Walaupun ide bahwa urusan sosial harus diselesaikan pada tingkat yang paling dekat dengan individu sudah dapat ditemukan pada pemikiran klasik Aristoteles mengenai polis dan pada tradisi hukum alam Thomas Aquinas, istilah subsidiaritas secara resmi mengemuka dalam ensiklik Quadragesimo Anno yang diterbitkan Paus Pius XI pada tahun 1931. Dokumen tersebut lahir sebagai respons terhadap krisis ekonomi global, pertumbuhan kapitalisme yang tak terkendali, serta meningkatnya sentralisasi kekuasaan negara yang mengabaikan otonomi kelompok-kelompok sosial kecil (Evans, 2013). Dalam ensiklik ini ditegaskan bahwa struktur sosial yang lebih tinggi tidak boleh mengambil alih fungsi unit yang lebih rendah kecuali ketika unit tersebut benar-benar tidak mampu menjalankan tugasnya. Pandangan ini sekaligus menjadi kritik terhadap negara totaliter maupun liberalisme ekstrem yang menyingkirkan peran komunitas kecil dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, subsidiaritas pada mulanya dimaknai sebagai prinsip moral-sosial yang menegaskan martabat manusia dan kebebasan komunitas terkecil dalam mengatur dirinya, tanpa dominasi berlebihan dari otoritas negara (Gosepath, 2005).

Seiring perkembangannya, prinsip subsidiaritas melintasi batas teologi dan memasuki ranah ilmu sosial, hukum, dan politik. Di Eropa, konsep ini diadopsi secara eksplisit ke dalam hukum Uni Eropa melalui Treaty of Maastricht (1992) sebagai pedoman pembagian kewenangan antara institusi supranasional dengan negara anggota. Di ranah teori governance, subsidiaritas dipandang sebagai instrumen normatif untuk memastikan agar kebijakan publik dibuat oleh aktor yang paling dekat dengan masalah sehingga keputusan yang dihasilkan lebih akurat, partisipatif, dan efektif. Di bidang hukum internasional, subsidiaritas digunakan sebagai landasan dalam berbagai forum, mulai dari hukum lingkungan hingga perlindungan hak asasi manusia, dengan argumen bahwa otoritas global atau nasional hanya boleh turun tangan apabila komunitas lokal atau negara gagal melindungi warganya. Dengan kata lain, subsidiaritas berkembang menjadi prinsip multidimensional: normatif (menjamin martabat manusia), struktural (mengarahkan distribusi kewenangan), dan instrumental (mencapai efisiensi tata kelola) (Wright, 2017).

Prinsip Dasar Subsidiaritas Solusi pada Level Terendah yang Kompeten

Secara substansial, prinsip dasar subsidiaritas dapat dirumuskan dalam sebuah logika sederhana namun kuat, permasalahan sosial, politik, maupun ekonomi sebaiknya diselesaikan oleh unit sosial terkecil yang memiliki kapasitas memadai, baik itu keluarga, komunitas lokal, lembaga adat, ataupun pemerintahan desa, sebelum dinaikkan kepada otoritas yang lebih tinggi seperti pemerintah daerah, pemerintah pusat, atau bahkan organisasi internasional. Prinsip ini menolak pandangan bahwa semakin tinggi tingkatan otoritas, semakin sah pula intervensinya dalam urusan masyarakat. Sebaliknya, ia menekankan perlunya pembalikan logika kekuasaan dengan mengakui prioritas unit yang paling dekat dengan individu. Campur tangan dari tingkat atas hanya dibenarkan ketika unit-unit kecil benar-benar tidak mampu menyelesaikan masalah, dan intervensi itu pun harus bersifat sementara serta membantu (auxiliary) agar kapasitas lokal kembali pulih. Oleh sebab itu, subsidiaritas memiliki dua sisi yang tidak dapat dipisahkan: sisi protektif yang melindungi otonomi komunitas kecil dari dominasi negara, dan sisi korektif yang memungkinkan intervensi negara demi menjamin kepentingan umum apabila kapasitas lokal terbatas (Gosepath, 2005).

Rasionalitas dari prinsip subsidiaritas dapat dipahami dari tiga dimensi. Pertama, dari sisi demokrasi partisipatoris, subsidiaritas memberi ruang bagi warga untuk terlibat langsung dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Keputusan yang dihasilkan di tingkat lokal biasanya lebih legitimate karena berakar pada musyawarah komunitas, bukan semata keputusan birokrasi pusat yang jauh dari realitas warga. Kedua, dari sisi efisiensi dan efektivitas kebijakan, unit lokal sering kali memiliki informasi kontekstual, kearifan tradisional, serta sensitivitas budaya yang lebih baik dalam mengatasi persoalan. Misalnya, masyarakat lokal di daerah pesisir memiliki pengetahuan tradisional mengenai pola musim dan ekosistem laut yang dapat dijadikan basis kebijakan pengelolaan sumber daya. Ketiga, subsidiaritas menjaga pluralitas dengan mengakui perbedaan norma, nilai, dan praktik antar masyarakat. Dalam negara multikultural, prinsip ini menjadi mekanisme untuk mencegah homogenisasi dan pemaksaan kebijakan tunggal yang mengabaikan keanekaragaman lokal. Namun, penting dicatat bahwa subsidiaritas tidak berarti menyerahkan semua hal kepada komunitas lokal. Masalah lintas-wilayah seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, atau ketimpangan fiskal tetap memerlukan koordinasi dan regulasi pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, subsidiaritas menuntut keseimbangan antara penghormatan terhadap otonomi lokal dan perlunya koordinasi nasional maupun global (Gosepath, 2005).

Prinsip subsidiaritas memiliki relevansi yang sangat kuat bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang ditandai oleh keragaman etnis, agama, budaya, serta sistem adat. Konstitusi Indonesia melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan ini secara substantif sejalan dengan prinsip subsidiaritas, karena membuka ruang bagi komunitas adat untuk mengatur dirinya sendiri dalam ranah sosial, budaya, maupun pengelolaan sumber daya alam. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi termasuk hutan negara merupakan tonggak penting yang menempatkan komunitas adat sebagai aktor utama dalam pengelolaan wilayahnya. Keputusan ini mengilustrasikan bahwa permasalahan yang menyangkut pengelolaan hutan, jika mampu diatur oleh komunitas adat dengan sistem pengetahuan lokalnya, seharusnya tidak diambil alih oleh negara (Nur Rahman et al., 2016).

Selain dimensi hukum, subsidiaritas juga tercermin dalam praktik sosial-budaya masyarakat Indonesia. Misalnya, di Maluku terdapat tradisi sasi, yakni aturan adat yang melarang pemanfaatan sumber daya tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk menjaga keberlanjutan ekosistem. Mekanisme ini muncul dari kesadaran komunitas lokal mengenai pentingnya konservasi, dan terbukti efektif mengatur akses terhadap sumber daya laut. Di Bali, awig-awig sebagai hukum adat desa tradisional menjadi pedoman perilaku warga dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari tata kelola air irigasi (subak) hingga tata krama sosial. Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa komunitas lokal sering kali memiliki mekanisme penyelesaian masalah yang lebih efektif, kontekstual, dan diterima secara sosial dibanding kebijakan formal yang datang dari pemerintah pusat. Subsidiaritas, dengan demikian, memberi kerangka normatif untuk mengakui dan memperkuat mekanisme semacam ini, bukan menggantikannya dengan regulasi seragam dari pusat (Nur Rahman et al., 2016). Dengan demikian, pengakuan terhadap praktik adat seperti sasi di Maluku atau awig-awig di Bali bukan hanya soal legitimasi hukum, melainkan juga membuka jalan untuk memahami bagaimana kearifan lokal bekerja sebagai sistem pengetahuan yang adaptif. Dari titik inilah penting melihat lebih jauh bagaimana local wisdom berfungsi menjaga keseimbangan sosial-ekologis sekaligus memperkuat prinsip subsidiaritas

Kearifan tradisional atau local wisdom bukan sekadar himpunan adat-istiadat simbolis, ia berfungsi sebagai sistem pengetahuan praktis dan institusional yang teruji oleh waktu untuk menavigasi kompleksitas relasi manusia lingkungan, termasuk ketidakpastian ekologis, musiman, dan perubahan sosial. Dari perspektif teori sistem sosial-ekologis, pengetahuan lokal menyediakan informasi kontekstual yang sangat terperinci misalnya penanda fenomena iklim mikro, aturan pengelolaan akses sumber daya, dan praktik regeneratif yang sering tidak terjangkau oleh kebijakan sentral yang bersifat umum dan tersentralisasi. Kasus Ampatoa/Ammatoa (Sulawesi Selatan) dan berbagai studi di kawasan Leuser memperlihatkan bagaimana masyarakat adat menata aturan penggunaan ruang, rotasi pemanfaatan, dan ritual yang secara efektif membatasi tekanan eksploitasi dan menumbuhkan kepatuhan sosial; karena itu, kearifan lokal meningkatkan adaptive capacity komunitas kemampuan untuk menyesuaikan aturan dan praktik ketika konteks berubah serta menyediakan mekanisme pemulihan pasca-guncangan (mis. musim buruk, penyakit tanaman, atau bencana) (Lahudin et al., 2024). Pendekatan subsidiaritas menempatkan strategi ini pada pusat tata kelola daripada menggantikan sistem lokal dengan kebijakan satu ukuran untuk semua, subsidiaritas menyarankan pengakuan, fasilitasi, dan ketika perlu, penguatan (capacity building) terhadap mekanisme kearifan lokal agar fungsi ekologis dan sosial yang sudah berjalan tidak runtuh di bawah tekanan modernisasi. Prinsip ini didukung oleh kajian empiris yang menunjukkan bahwa integrasi multi-sistem pengetahuan (local + ilmiah) menghasilkan kebijakan yang lebih responsif dan berkelanjutan pada tingkat lokal (To What Extent Does Indigenous Local Knowledge Support the Social–Ecological System? A Case Study of the Ammatoa Community, Indonesia, n.d.).

Dalam konteks penyelesaian konflik, hukum adat sering berfungsi sebagai institusi adjudikatif dan mediatif yang mengedepankan pemulihan relasi sosial ketimbang sekadar hukuman retributif. Pada dataran Minangkabau, struktur adat (termasuk peran niniak mamak, datuk, dan forum kelembagaan seperti Kerapatan Adat Nagari (KAN) menempatkan musyawarah kolektif (musyawarah adat) sebagai prosedur norma yang legitim, menyatukan pihak bersengketa di hadapan badan adat yang memiliki legitimasi historis untuk memediasi, menetapkan sanksi adat, dan merumuskan kompensasi atau restitusi. Fungsi KAN di banyak nagari bukan hanya simbolik ia adalah mekanisme praktis untuk mengelola kepemilikan ulayat, menyelesaikan konflik tanah komunal (pusako), dan menjaga kohesi sosial melalui proses deliberatif yang mengikat secara moral. Keunggulan mekanisme adat ini terletak pada kedekatannya dengan konteks aturan dibuat dan dilaksanakan oleh aktor yang paham relasi kekerabatan, sejarah klaim, dan kepentingan ekonomi setempat sehingga penyelesaian menjadi cepat, lebih murah, dan seringkali lebih diterima oleh komunitas dibandingkan litigasi di pengadilan formal. Namun demikian, pengakuan terhadap kapasitas ini harus diimbangi kewaspadaan: tumpang tindih antara hukum negara dan hukum adat serta potensi capture oleh elite lokal membutuhkan mekanisme harmonisasi hukum, transparansi proses, dan perlindungan hak-hak minoritas di bawah payung konstitusi. Literasi hukum dan fasilitasi kelembagaan dari tingkat kabupaten/provinsi dapat membantu menjembatani perbedaan ini sehingga musyawarah adat bukan menjadi zona di luar pengawasan hak asasi, tetapi sebaliknya menjadi komponen fungsional dari tata kelola multi-level (Meldianto et al., 2024).

Sebagian besar lembaga adat di Indonesia menerapkan logika restorative justice yang berbeda secara substansial dari model retributif peradilan negara fokusnya adalah restorasi keseimbangan sosial, pemulihan korban dan komunitas, serta reintegrasi pelaku melalui kompensasi, ritual penebusan, atau sanksi adat yang bertujuan mencegah keganjilan sosial berulang. Penelitian empiris di Maluku (mis. sejumlah negeri di Maluku Tengah) dan kajian tentang praktik Larvul Ngabal di Kepulauan Kei menunjukkan bahwa penyelesaian perkara kriminal dan perdata melalui mediasi adat yang melibatkan raja/tradisional leader, kepala klan, dan pihak keluarga dapat menyelesaikan kasus yang berada dalam kategori tertentu (pencurian, perkelahian, beberapa kasus kekerasan domestik tergantung konteks) dengan hasil yang memuaskan komunitas dan berdampak restoratif. Studi kasus di Ambon dan Pulau-pulau sekitarnya mendokumentasikan prosedur formal investigasi komunitas, perundingan kompensasi, upacara pemulihan yang, jika tidak bertentangan dengan norma HAM dasar, mampu mengembalikan stabilitas sosial lebih cepat daripada proses pengadilan formal yang panjang dan mahal. Di wilayah Papua, praktik adat lokal juga memiliki mekanisme analog, meskipun terminologi dan ritual berbeda, pola mediasi, pertemuan lembaga adat, dan sanksi sosial berulang terlihat konsisten sebagai sarana rekonstruksi hubungan sosial. Penting dicatat bahwa restorative justice adat bukan solusi universal: ada kasus yang membutuhkan intervensi hukum formal (kejahatan serius, pelanggaran HAM berat), dan ada pula kekhawatiran bahwa sanksi adat bisa bersifat diskriminatif oleh karena itu integrasi prinsip restorative justice adat ke dalam sistem hukum nasional memerlukan klarifikasi kompetensi, jaminan hak korban (termasuk korban perempuan dan minoritas), serta mekanisme pengawasan yang peka budaya (Salamor et al., 2023).

Budaya gotong royong dan praktik deliberatif seperti musyawarah adalah basis sosial yang memungkinkan prinsip subsidiaritas menjadi praktis dan legitim: gotong royong menyediakan modal sosial (social capital) berupa saling percaya, norma timbal balik, dan jaringan solidaritas yang memperkecil biaya koordinasi ketika wewenang dan tanggung jawab didelegasikan ke komunitas lokal; musyawarah menghadirkan prosedur deliberatif yang memberi ruang bagi legitimasi kolektif keputusan-keputusan lokal. Dalam kata lain, subsidiaritas tidak akan efektif hanya berdasarkan aturan formal ia membutuhkan substrat sosial yang mampu melaksanakan tugas publik ketika otoritas diturunkan: partisipasi warga, ketaatan pada keputusan kolektif, dan mekanisme sanksi sosial yang menegakkan norma. Bukti empiris dari studi di berbagai daerah Indonesia (mis. mekanisme rewang, rehabilitasi pasca-bencana di Lombok, pengelolaan koperasi dan usaha mikro) menunjukkan bahwa gotong royong seringkali meningkatkan kapasitas komunitas untuk menyelesaikan masalah ekonomi dan sosial tanpa menunggu intervensi negara, sehingga subsidiaritas dalam praktik menjadi mekanisme penguatan bottom-up. Namun sekaligus perlu diperhatikan bahwa gotong royong dapat mengalami tekanan: urbanisasi, individualisasi ekonomi, dan relasi pasar dapat melemahkan norma ini; untuk itu kebijakan publik yang ingin mengandalkan subsidiaritas harus merancang insentif untuk mempertahankan modal sosial (mis. dukungan dana bergulir komunitas, pengakuan kelembagaan, dan program pendidikan kewargaan) sehingga pelepasan wewenang tidak mengakibatkan degradasi kapasitas sosial. Secara teoritis, integrasi gotong royong dan musyawarah ke dalam kerangka subsidiaritas mewujudkan gagasan bahwa otoritas yang lebih tinggi hanya boleh bertindak bila kapasitas lokal (termasuk modal sosial) tidak memadai bukan sebagai alasan untuk menarik keterlibatan negara secara permanen (Koopman, 2021).


Referensi

Evans, Dr. M. (2013). The Principle of Subsidiarity as a Social and Political Principle in Catholic Social Teaching.

Gosepath, S. (2005). The Principle of Subsidiarity. In A. Follesdal & T. Pogge (Eds.), Real World Justice (Vol. 1, pp. 157–170). Springer-Verlag. https://doi.org/10.1007/1-4020-3142-4_9

Koopman, J. (2021). The restoration of gotong royong as a form of post-disaster solidarity in Lombok, Indonesia. South East Asia Research, 29(3), 279–296. https://doi.org/10.1080/0967828X.2021.1966318

Lahudin, L., Yusuf, R., Putra, I., Maimun, M., & Gopinath, S. (2024). Integrating local wisdom in environmental conservation: Ecological citizenship in the Leuser ecosystem, Indonesia. Global Arts, Humanities and Culture Review, 1(1), 11–20.

Meldianto, R. P., Jendrius, J., & Miko, A. (2024). Conflict in the Management of Ulayat Land in Nagari Sungai Kamuyang: Conflict in the Management of Ulayat Land in Nagari Sungai Kamuyang. Jurnal Sosiologi Nusantara, 10(2), 313–326. https://doi.org/10.33369/jsn.10.2.313-326

Nur Rahman, I., Triningsih, A., Harumdani W, A., & Kurniawan, N. (2016). Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 8(5), 767. https://doi.org/10.31078/jk856

Quadragesimo Anno (May 15, 1931). (n.d.). Retrieved September 11, 2025, from http://www.vatican.va/content/pius-xi/en/encyclicals/documents/hf_p-xi_enc_19310515_quadragesimo-anno.html

Salamor, A. M., Titahelu, J. A. S., Ubwarin, E., & Taufik, I. (2023). Application of Restorative Justice In The Settlement of Customary Criminal Cases. SASI, 29(2), 227. https://doi.org/10.47268/sasi.v29i2.1259

To What Extent Does Indigenous Local Knowledge Support the Social–Ecological System? A Case Study of the Ammatoa Community, Indonesia. (n.d.). Retrieved September 11, 2025, from https://www.mdpi.com/2079-9276/11/12/106

Wright, K. S. (2017). The principles of Catholic social teaching: A guide for decision making from daily clinical encounters to national policy-making. The Linacre Quarterly, 84(1), 10–22. https://doi.org/10.1080/00243639.2016.1274629