Nasionalisme Itu Berakar dari Kesadaran Ekologis
Ditulis oleh Muhamad Fikri Asy’ari | 2025-12-04
Di tengah gegap gempita perayaan pada bulan kemerdekaan setiap Agustus, nasionalisme kerap digaungkan. Namun, pengertiannya sering kali dipersempit hanya pada simbol - simbol negara, seperti bendera dan lagu kebangsaan. Padahal, di era ketika krisis iklim mengancam masa depan umat manusia, makna patriotisme telah mengalami perubahan ke pengertian yang lebih besar. Nasionalisme tidak lagi cukup dipahami sebatas pertahanan, keamanan militer, atau pertumbuhan ekonomi. Ia juga harus mencakup perlindungan dan perawatan alam yang menjadi kebanggaan sekaligus fondasi kehidupan bernegara. Dalam konteks inilah, nasionalisme ekologis hadir sebagai model baru yang menempatkan kesadaran lingkungan sebagai wujud cinta tanah air, dengan memperjuangkan kedaulatan hutan, sungai, lautan, hingga hak-hak masyarakat adat di dalamnya.
Refleksi Nasionalisme
Selama ini, pemahaman mengenai nasionalisme sering kali terbatas pada ranah politik, dengan ukuran cinta tanah air dilihat dari kesiapan membela kedaulatan dari ancaman militer, pertumbuhan ekonomi, atau sekadar hafalan Pancasila. Namun, di era saat ini, ancaman terbesar yang perlahan namun pasti terus menghantui adalah krisis iklim dan kerusakan lingkungan.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sejak 2023 hingga Juli 2025 terjadi lebih dari 10.700 bencana, dengan banjir serta kebakaran hutan dan lahan sebagai kejadian paling dominan. Kondisi ini berkelindan dengan empat catatan Walhi 2025, pertama, deforestasi yang mencapai 600 ribu hektar; kedua, ancaman terhadap 35 ribu keluarga nelayan di 3.197 desa pesisir akibat limbah tambang serta pengkaplingan 55 pulau kecil untuk pertambangan mineral dan batubara; ketiga, meningkatnya konflik agraria sejak 2023 yang mencakup 638 ribu hektare dan melibatkan 135 ribu keluarga; keempat, maraknya kriminalisasi serta kejahatan lingkungan terhadap masyarakat yang menolak aktivitas tambang.
Bencana dan krisis lingkungan menjadi refleksi bersama untuk menemukan solusi agar kejadian serupa tidak terus terulang. Perubahan mendasar dalam makna nasionalisme dapat menjadi jalan untuk memperluas pemahaman, bahwa nasionalisme tidak hanya berarti menghargai simbol-simbol negara, tetapi juga menghormati air, tanah, udara, ekosistem alam, serta masyarakat adat yang menjadi fondasi hakiki berdirinya Indonesia. Dengan demikian, merusak salah satu di antaranya berarti mengabaikan pilar keberadaan bangsa, baik dari sisi wilayah dan alamnya maupun masyarakat. Bahkan, sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, mengandung makna pentingnya pemerataan sumber daya serta pembangunan berkelanjutan bagi generasi mendatang, dengan cara menjaga dan merawat keseimbangan lingkungan

Nasionalisme ekologis hadir menjawab tantangan tersebut, dengan mengajarkan bahwa kedaulatan sebuah bangsa mendasarkan kepada kemampuan untuk melindungi dan merawat kekayaan alam. Melindungi hutan, menjaga sungai tetap bersih, dan mempertahankan keanekaragaman hayati tidak lagi sekadar isu lingkungan, namun bentuk patriotisme yang mendasar. Sebaliknya, tindakan merusak hutan, sungai, dan keanekaragaman hayati sama artinya dengan tindakan yang merusak pondasi keberlanjutan bangsa. Oleh karena itu, “membela tanah air” merupakan arti harfiah membela pada lingkungan dan ekosistem dari eksploitasi yang merusak. Hal ini adalah perjuangan yang tidak mengenal batasan dan waktu.
Keadaan ini dapat dicontoh dari negeri Tirai Bambu yang mengusung konsep peradaban ekologi (shengtai wenming). Dalam kajian Hanse, M.H, dkk. (2021) berjudul Ecological Civilization: Interpreting the Chinese Past, Projecting the Global Future, dijelaskan bahwa peradaban ekologi telah tercantum dalam konstitusi Tiongkok sebagai kerangka ideologis bagi kebijakan, hukum, dan pendidikan lingkungan. Konsep ini juga menjadi landasan untuk mendorong inovasi teknologi dalam menghadapi ancaman degradasi lingkungan. Gagasan tersebut berakar pada warisan filosofis Tiongkok yang telah ada selama 2.500 tahun, sekaligus melanjutkan tradisi budaya, serta menjadi visi masa depan global yang berpijak pada identitas nasional.

Akar Budaya Indonesia dalam Nasionalisme Ekologis
Sebenarnya akar budaya di Indonesia pun memiliki kesamaan layaknya konsep peradaban ekologi di Tiongkok, yaitu memiliki penghargaan, pemaknaan, dan perawatan kepada lingkungan. Dari masyarakat suku Bajo yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan hingga Nusa Tenggara dengan kearifan lokalnya yang menjaga ekosistem pesisir dan laut hingga suku Sunda di Jawa Barat dalam menjaga hutan hingga pegunungan yang menciptakan harmoni antara manusia dengan alam.
Dalam masyarakat Sunda, sebagaimana dikaji oleh Indrawardana (2012) dalam Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda dalam Hubungan dengan Lingkungan Alam, alam dan manusia diyakini sebagai dua entitas yang tidak terpisahkan, melainkan memiliki keterikatan yang setara. Pandangan ini membentuk cara hidup masyarakat Sunda untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik secara langsung maupun tidak. Namun, hal ini bukan berarti manusia sepenuhnya tunduk pada alam, melainkan menjalin hubungan timbal balik yang berlandaskan pada keharmonisan. Salah satu contohnya tampak dalam praktik bertani yang mengikuti siklus alam.
Nilai-nilai tersebut juga tercermin dalam cerita rakyat, peribahasa, serta berbagai petuah hidup yang diwariskan turun - temurun. Misalnya ungkapan ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak (ke air menjadi satu danau, ke darat menjadi satu kawasan) yang bermakna hidup harus seiring sejalan atau harmonis. Dengan demikian, alam tidak hanya berfungsi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan, tetapi juga hadir dalam seni, sastra, dan bahasa sebagai wujud etik dan estetika kehidupan masyarakat Sunda.
Suku Sunda, bersama banyak suku lain di Indonesia, memiliki akar budaya yang berorientasi pada alam. Hal ini dapat menjadi dasar nasionalisme ekologis yang menempatkan lingkungan sebagai prioritas dalam kebijakan dan pembangunan. Dalam konteks ini, nasionalisme ekologis berpijak pada warisan dan tradisi lokal masyarakat Indonesia.
Kesimpulan
Istilah nasionalisme tidak hanya dimaknai sebatas pelaksanaan upacara setiap hari Senin atau pemasangan simbol-simbol kemerdekaan pada bulan Agustus. Namun, pemahaman mengenai nasionalisme perlu diperluas agar selaras dengan perkembangan zaman, di mana kesadaran ekologis menjadi bagian tak terpisahkan dari semangat kebangsaan. Konsep nasionalisme ekologis lahir dari akar budaya dan warisan nilai yang telah lama dipupuk oleh masyarakat Indonesia. Melalui pandangan ini, pelestarian lingkungan diposisikan sebagai landasan utama dalam membangun identitas kebangsaan sekaligus menjadi pijakan dalam perumusan kebijakan dan arah pembangunan nasional.
Daftar Pustaka
Indrawardana, Ira. (2012). Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda dalam Hubungan dengan Lingkungan Alam. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture 4, no. 1
Mette Halskov Hansen, Hongtao Li, Rune Svarverud. (2018). Ecological civilization: Interpreting the Chinese past, projecting the global future. Global Environmental Change 53: 195 - 203.
Berita Lainnya
-
Edukasi Politik dan Keterlibatan Kita dalam Demokrasi Digital Citizenship dan Warna dalam Perbedaan
| 2025-12-13 -
Etika Publik Dan Tanggung Jawab sosial, perilaku sosial dan perubahan sosial
| 2025-12-13 -
System Politik di Indonesia dan Lembaga Politik di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Pemilu dan Praktik Pemilihan Umum di Indonesia
| 2025-12-13 -
Mengenal Teori-teori Besar Tentang Cara Melanggengkan Kekuasaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Ekonomi Yang Menindas dan Oligarki
| 2025-12-13 -
Histori dan Tumbuh Kembang Partisipasi Politik di Indonesia Dinamika Perkembangan Partisipasi Politik dari Masa ke Masa
| 2025-12-13 -
Kekuatan Lokal dalam Partisipasi dan Representasi Politik
| 2025-12-13 -
Media dalam demokrasi modern menghadapi ancaman hoaks dan disinformasi
| 2025-12-13 -
Keterlibatan Komunitas dan Manajemen Relawan untuk Dampak Positif di Tingkat Lokal
| 2025-12-13