Mengenal Cara Pandang Negara Dalam Berpikir Sistem dan Cara Berpikir Kritis

Ditulis oleh M. Alif Akbar | 2025-10-11

Dalam dinamika negara modern, kita kerap melihat bagaimana persoalan sosial-politik dipetakan dan diselesaikan oleh negara melalui pendekatan yang sistemik dan rasional. Negara diposisikan sebagai pengatur yang objektif, pembuat hukum, dan pengelola sumber daya. Namun, cara pandang ini sering kali menyingkirkan dimensi moral dan kemanusiaan. Negara dalam kerangka tersebut cenderung menjadi institusi teknokratis yang lebih suka mengatur daripada merangkul, lebih baik merumuskan sistem daripada menyentuh kebutuhan konkret warga, terlebih kelompok rentan. Maka dari itu, penting untuk memahami cara negara bekerja, bukan hanya sebagai mesin administratif, melainkan sebgai struktur kekuasaan yang memiliki  bias nilai, dan bagaimna pendekatan tersebut berdampak terhadap masyarakat secara luas. 

Negara bukan sekadar entitas legal formal, melainkan juga arena konflik nilai, kepentingan, dan tafsir kekuasaan. Dalam hal ini, dua pendekatan berpikir yang penting untuk dikembangkan adalah cara berpikir sistem (system thinking) dan cara berpikir kritis (critical thinking). Keduanya memberi fondasi intelektual yang penting untuk menilai peran negara dalam kehidupan publik serta mengarahkan relasi antara warga negara dan kekuasaan agar tetap berada dalam kerangka etis dan demokratis (Kleden, 2001). Cara berpikir sistem melihat negara sebagai satu kesatuan yang terdiri dari elemen- elemen saling berkaitan, seperti lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, masyarakat sipil, media, serta warga negara sebagai bagian dari sistem sosial yang kompleks. Dalam pendekatan ini, negara tidak dipahami sebagai entitas tunggal yang berdiri di atas rakyat, melainkan sebagai sistem yang bekerja berdasarkan interdependensi antar bagian.

Dalam perspektif sistem, negara menjadi efektif ketika semua subsistemnya berfungsi dengan baik dan tidak mendominasi satu sama lain. Di sinilah urgensinya melihat negara sebagai sistem yang memerlukan keseimbangan antara kekuasaan, hukum, nilai-nilai etika, serta partisipasi warga negara. Ketika salah satu subsistem dominan misalnya eksekutif yang mengabaikan kontrol legislatif dan peran publik maka sistem negara menjadi tidak sehat. Oleh karena itu, pemikiran sistemik mendorong pemahaman bahwa negara harus dipelihara sebagai ekosistem politik yang hidup dan berorientasi pada keadilan (Laszlo, 1972).

Pendekatan sistem dalam negara tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan hasil rekayasa sosial-politik yang secara historis dibentuk oleh relasi kuasa, kepentingan elit, serta kecenderungan negara untuk mempertahankan stabilitas. Seperti dikemukakan oleh Kuskridho Ambardi dalam “The Making of the Indonesian Political System”, sistem politik Indonesia pasca reformasi dibentuk melalui koalisi kekuasaan yang melibatkan partai politik dan oligarki ekonomi, yang pada akhirnya membentuk sebuah sistem yang tampak demokratis secara prosedural, namun rapuh secara substansi (Ambardi, 2008). Dalam kerangka ini, sistem politik tidak benar-benar dibangun berdasarkan nilai keadilan dan keterwakilan moral, melainkan sebagai hasil dari konsolidasi elit untuk menjaga kepentingan status quo. Konsekuensi dari pendekatan sistemik ini ialah munculnya jarak antara kebijakan negara dengan realitas warga. Negara yang sibuk merancang sistem dan regulasi sering kali abai terhadap kelompok- kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan miskin, atau buruh informal. Hal ini dijelaskan oleh Sulistyowati Irianto dalam tulisannya “Hukum dan Kekuasaan Negara: Perspektif Antropologi Hukum”. Ia menjelaskan bagaimana hukum negara yang diklaim netral justru menjadi alat kekuasaan yang dapat merugikan masyarakat adat dan perempuan, terutama ketika negara menggunakan pendekatan satu ukuran untuk semua tanpa mempertimbangkan konteks budaya dan sosial masyarakat lokal (Irianto, 2008). Dalam banyak kasus, warga yang tidak memiliki akses terhadap arena pengambilan keputusan menjadi korban dari sistem hukum dan kebijakan yang dirancang tanpa partisipasi mereka.

Berpikir Kritis Terhadap Sistem Negara

Pemahaman bahwa sistem negara bersifat objektif dan netral harus dipertanyakan. Kita perlu mengembangkan kemampuan berpikir kritis terhadap sistem dan regulasi yang dibuat negara. Daniel Dhakidae dalam “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Indonesia” menunjukkan bahwa para cendekiawan seringkali menjadi bagian dari aparatus negara yang membentuk narasi resmi tentang sistem, kebijakan, dan pembangunan. Ia mengkritik peran intelektual yang terlalu dekat dengan kekuasaan hingga kehilangan jarak kritis, dan justru menyumbang pada pembentukan sistem yang melayani kepentingan kekuasaan semata (Dhakidae, 2003). Dalam hal ini, berpikir kritis berarti menggugat peran intelektual dan kebijakan negara yang mengklaim bekerja atas nama publik, namun dalam praktiknya sering kali melayani segelintir elit. Kritik terhadap sistem negara juga harus diarahkan pada bagaimana regulasi dibentuk, apakah ia inklusif, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan warga, atau justru menjadi alat pengendali dan eksklusi. Kita melihat bahwa sistem hukum dan kebijakan publik sering kali dikembangkan dalam bahasa teknokratis yang sulit dijangkau oleh warga biasa. Akibatnya, warga tidak hanya mengalami keterpinggiran secara ekonomi dan politik, tetapi juga secara epistemic, mereka tidak dilibatkan bahkan dalam bahasan perumusan kebijakan yang menyangkut hidup mereka.

Berpikir kritis tidak cukup jika hanya didasarkan pada analisis logis atau rasional. Ia harus melibatkan dimensi etis, yakni keberpihakan pada nilai keadilan, kepedulian, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks negara dan kebijakan publik, etika berpikir kritis menuntut kita untuk bertanya, apakah keputusan negara menghormati martabat manusia?,apakah sistem hukum melindungi yang lemah atau justru memperkuat dominasi?, etika kritis mengharuskan kita untuk tidak hanya memahami sistem, tetapi juga menggugatnya apabila sistem tersebut menciptakan penderitaan sosial. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sulistyowati Irianto, hukum negara yang dianggap sebagai representasi dari rasionalitas modern justru dapat mengabaikan keadilan substantif jika tidak dilandasi oleh kepekaan terhadap konteks sosial dan pengalaman warga (Irianto, 2008). Dalam praktiknya, hukum yang tidak adil kerap dibungkus oleh narasi legalitas, dan inilah yang membuat banyak pelanggaran terhadap kelompok rentan terjadi tanpa mendapat perlawanan yang cukup. Maka dari itu, kehadiran sensitivitas moral dalam berpikir kritis menjadi penting agar kita tidak jatuh dalam teknokratisme yang dingin dan tak berperasaan.

Dalam pembentukan dan pengelolaan sistem, negara kerap kali menempatkan efisiensi sebagai tujuan utama. Hal ini melahirkan bentuk teknokratisme, sebagaimana yang sudah penulis sebutkan diatas, yakni cara berpikir yang menempatkan logika kebijakan di atas nilai-nilai kemanusiaan. Negara yang terlalu teknokratis akan mengabaikan keragaman sosial, menganggap semua warga bisa diatur dengan satu formula, dan melupakan bahwa sistem bukan hanya soal perhitungan, tetapi juga soal empati. Jika berpikir sistem tidak disertai dengan sensitivitas moral, maka sistem akan kehilangan substansi etiknya. Ia akan menjadi kekosongan birokratis yang merampas ruang hidup warga atas nama efisiensi. Oleh karena itu, berpikir sistem dan berpikir kritis harus dipadukan dengan sensitivitas moral. Ini berarti kita tidak hanya menganalisis bagaimana sistem bekerja, tetapi juga mempertanyakan siapa yang diuntungkan, siapa yang dikorbankan, dan apakah sistem tersebut mencerminkan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Pendidikan politik, kesadaran hukum, dan partisipasi warga harus diarahkan bukan hanya untuk memahami struktur negara, tetapi juga untuk mengintervensi secara moral dan politis agar negara tidak menjadi kekuasaan yang terasing dari rakyatnya.

Referensi 

Brookfield, S. D. (2012). Teaching for Critical Thinking: Tools and Techniques to Help Students Question Their Assumptions. Jossey-Bass

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.

Heryanto, Ariel (Ed.). (1995). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Indonesia. Pustaka Utama Grafiti. 

Kleden, Ignas. (2001). “Negara Hukum dan Etika Kewargaan.” Jurnal Prisma, No. 4, Tahun XX, April.

Laszlo, Ervin. (1972). Introduction to Systems Philosophy: Toward a New Paradigm of Contemporary Thought. Gordon and Breach.

Ambardi, K. (2008). The Making of the Indonesian Political System. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 12 No. 1.

Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Indonesia. Prisma, No. 1.

Irianto, S. (2008). Hukum dan Kekuasaan Negara: Perspektif Antropologi Hukum. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 10 No. 1.

Rekomendasi Bahan Bacaan 

  • Buku
  1. Daniel Dhakidae – “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Indonesia” (Prisma)
  • Artikel Imiah
  1. Sulistyowati Irianto - “Hukum dan Kekuasaan Negara: Perspektif Antropologi Hukum” (Jurnal Masyarakat & Budaya, LIPI)
  2. Kuskridho Ambardi - “The Making of the Indonesian Political System” (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM)
  • Artikel Populer/Opini Publik 
  1. Ignas Kleden - “Negara Hukum dan Etika Kewargaan”
  2. Sarlito Wirawan Sarwono - “Psikologi Kritis terhadap Struktur Negara”
  3. Goenawan Mohamad - Catatan Pinggir (terpilih)
  • Dokumen Resmi 
  1. RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)
  2. Buku Putih Pertahanan & Strategi Nasional (Lemhannas, TNI)