Kaum Muda Kendari Suarakan Harapan Bumi: Roadshow “Alarm Krisis Iklim dan Dialog Kaum Muda” di Universitas Halu Oleo
Ditulis oleh Admin | 2025-09-12
Kendari — Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo (UHO) pada Rabu, 10 September 2025, menjadi saksi semangat ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas yang hadir dalam kegiatan Roadshow Kampus “Alarm Krisis Iklim dan Dialog Kaum Muda”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Institut Hijau Indonesia (IHI) bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UHO dan melibatkan berbagai organisasi kampus di Sulawesi Tenggara. Dengan partisipasi lebih dari 230 peserta, kegiatan ini menjadi ruang inspiratif bagi generasi muda untuk berdiskusi, belajar, dan menyuarakan solusi terhadap krisis planet yang kian mendesak.
Dalam suasana hangat dan penuh antusias, Ketua BEM UHO, Nabil Al Mahmud, membuka acara dengan sambutan yang menggugah kesadaran kolektif mahasiswa tentang peran mereka dalam isu lingkungan hidup. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan langkah awal untuk membangun gerakan perubahan yang nyata. “Kami berharap acara ini melahirkan rekomendasi dan gagasan baru agar anak muda di Universitas Halu Oleo dapat bersuara dan saling terhubung dalam memahami isu lingkungan. Kaum muda adalah generasi perubahan, bukan hanya duduk diam, tetapi ikut bergerak,” ujarnya disambut tepuk tangan meriah peserta.

Sambutan berikutnya disampaikan oleh Lade Sirjon, S.H., LL.M, mewakili Rektor Universitas Halu Oleo. Ia mengungkapkan rasa terima kasih kepada Institut Hijau Indonesia atas inisiatif menyelenggarakan kegiatan edukatif ini di Kendari. “Kami menyadari bahwa isu lingkungan sudah sangat terasa di daerah kami. Kota Kendari kini semakin panas, dan Sulawesi Tenggara menjadi sorotan dalam pembahasan isu ekologi nasional. Kegiatan ini diharapkan mampu melahirkan sudut pandang baru dan gerakan nyata berbasis ilmu pengetahuan untuk memperbaiki dampak lingkungan,” ujarnya dengan penuh harap.
Sementara itu, Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, dalam paparannya memberikan gambaran global tentang kondisi bumi saat ini yang tengah menghadapi Triple Planetary Crisis yakni krisis iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi. Ia menjelaskan bahwa ketiga krisis tersebut saling berkaitan dan diakui dalam berbagai perjanjian internasional. “Tahun 2023–2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, dengan suhu global naik lebih dari 1,6°C. Jika tidak ada perubahan signifikan, pada 2050 dunia akan menghadapi kerugian ekonomi dan ekologis yang besar,” ujarnya. Chalid juga menyoroti kehilangan jutaan hektare hutan di Indonesia setiap tahun serta meningkatnya polusi plastik dan limbah elektronik global. “Semua ini menunjukkan bahwa situasi kita sudah darurat. Tapi masih ada harapan, dan harapan itu ada di tangan generasi muda,” tegasnya.
Dalam sesi utama, sejumlah narasumber hadir membawa perspektif yang beragam dan menggugah. Dr. Sahrina Safiuddin, S.H., LL.M, dosen hukum lingkungan, menyoroti pentingnya posisi pemuda dalam hukum nasional. Ia menjelaskan bahwa pemuda memiliki dasar hukum untuk menuntut negara melakukan mitigasi dan adaptasi iklim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). “Pemuda bukan sekadar penerus bangsa, tapi subjek hukum yang berdaya. Mereka punya hak menyampaikan pendapat, menggugat pelanggaran lingkungan, dan berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik,” tegasnya.
Dari perspektif aktivisme muda, Romadhini Putri Wulandari, perwakilan Institut Hijau Indonesia12, menjelaskan konsep Triple Planetary Crisis yang berdampak langsung terhadap kehidupan manusia mulai dari kesehatan, ekonomi, pangan, hingga ekosistem. Ia menekankan bahwa generasi muda harus menjadi aktor penting yang membawa perubahan melalui inovasi dan kolaborasi lintas sektor. “Penyebab utama krisis ini adalah konsumsi berlebihan, deforestasi, energi fosil, dan gaya hidup tidak berkelanjutan. Kita perlu menjawabnya dengan teknologi hijau, kampanye publik, dan kolaborasi pentahelix antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media,” jelasnya. Ia juga mengajak peserta untuk melakukan riset, publikasi, serta terlibat dalam komunitas aksi lingkungan.
Paparan berikutnya datang dari La Ode Ahlun Wahid, S.T, yang menyoroti krisis iklim sebagai situasi darurat global akibat aktivitas manusia. Ia memaparkan data bahwa sepuluh negara dengan emisi terbesar menyumbang 68% dari total emisi dunia, sementara seratus negara dengan emisi terendah hanya 3%. Ia menegaskan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia, mencapai lebih dari 230 ribu hektar kehilangan hutan per tahun. “Krisis ini berdampak pada semua aspek kehidupan dari kesehatan, ketahanan pangan, hingga infrastruktur. Namun, perubahan akan berarti jika dimulai dari tindakan individu,” ucapnya. Ia kemudian mengajak generasi muda untuk berkontribusi melalui gaya hidup hijau, seperti membawa tumbler, menghemat listrik dan air, menggunakan transportasi ramah lingkungan, serta menerapkan prinsip 4R: Reduce, Reuse, Recycle, dan Replace.
Diskusi semakin hidup dalam sesi tanya jawab. Salah satu peserta dari Fakultas Kehutanan menanyakan bagaimana menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan upaya menjaga lingkungan. Menanggapi hal tersebut, La Ode Ahlun Wahid menjelaskan bahwa kuncinya adalah keadilan ekologis dan sosial. “Kita harus mencari titik tengah menjaga lingkungan tanpa memutus mata pencaharian. Program konservasi harus berjalan berdampingan dengan pemberdayaan ekonomi lokal,” ujarnya.
Pertanyaan lain datang dari peserta Fakultas Ekonomi yang menanyakan cara efektif mengkampanyekan gaya hidup hijau di masyarakat. Romadhini menjawab dengan sederhana namun kuat, “Mulailah dari diri sendiri. Orang akan lebih percaya pada tindakan nyata dibanding sekadar teori. Gunakan media sosial, seni, dan budaya untuk menyampaikan pesan lingkungan dengan cara kreatif dan relevan.”
Sementara itu, pertanyaan dari mahasiswa manajemen tentang relevansi prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR) dalam hukum internasional dijawab oleh Dr. Sahrina. Ia menegaskan bahwa prinsip tersebut menuntut negara beremisi tinggi untuk mengambil tanggung jawab lebih besar terhadap penanganan krisis iklim. “Keadilan global mengharuskan negara maju tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga membantu negara berkembang melalui transfer teknologi dan pendanaan hijau,” jelasnya.
Kegiatan Roadshow Kampus Alarm Krisis Iklim dan Dialog Kaum Muda di Universitas Halu Oleo ini menjadi momentum penting bagi mahasiswa Kendari untuk menyuarakan kepedulian dan aksi nyata bagi bumi. Diskusi yang berlangsung dari pagi hingga siang hari menghasilkan semangat kolaboratif lintas fakultas untuk memperkuat gerakan hijau di kampus. Seperti disampaikan Chalid Muhammad dalam penutupan acara, “Krisis planet ini nyata, tapi dari kampus seperti UHO, kita melihat secercah harapan. Ketika anak muda bersuara, maka bumi pun punya alasan untuk tetap bernafas.”
Berita Lainnya
-
Edukasi Politik dan Keterlibatan Kita dalam Demokrasi Digital Citizenship dan Warna dalam Perbedaan
| 2025-12-13 -
Etika Publik Dan Tanggung Jawab sosial, perilaku sosial dan perubahan sosial
| 2025-12-13 -
System Politik di Indonesia dan Lembaga Politik di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Pemilu dan Praktik Pemilihan Umum di Indonesia
| 2025-12-13 -
Mengenal Teori-teori Besar Tentang Cara Melanggengkan Kekuasaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Ekonomi Yang Menindas dan Oligarki
| 2025-12-13 -
Histori dan Tumbuh Kembang Partisipasi Politik di Indonesia Dinamika Perkembangan Partisipasi Politik dari Masa ke Masa
| 2025-12-13 -
Kekuatan Lokal dalam Partisipasi dan Representasi Politik
| 2025-12-13 -
Media dalam demokrasi modern menghadapi ancaman hoaks dan disinformasi
| 2025-12-13 -
Keterlibatan Komunitas dan Manajemen Relawan untuk Dampak Positif di Tingkat Lokal
| 2025-12-13