Histori dan Tumbuh Kembang Partisipasi Politik di Indonesia Dinamika Perkembangan Partisipasi Politik dari Masa ke Masa
Ditulis oleh M. Alif Akbar | 2025-12-13
Partisipasi politik memiliki makna yang luas, untuk itu perlu dipahami secara perlahan, dimulai dari kata politik, istilah politik berasal dari bahasa Yunani “polis” yang memiliki arti negara/kota, kemudian di adopsi dalam bahasa inggris polity, politic yang bermakna negara pemerintah. Konsep politik pada dasarnya mendapat pengaruh besar dari pemikiran para filsuf Yunani Kuno abad ke-5 SM, terutama Plato dan Aristoteles. Bagi keduanya, politik dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan bersama yang ideal, yakni masyarakat yang bahagia, memiliki ikatan sosial yang erat, serta menjunjung tinggi moralitas. Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa sejak awal manusia sejatinya telah berpolitik, kapan pun dan di mana pun. Hal ini karena setiap individu maupun kelompok selalu dihadapkan pada beragam kebutuhan, lalu berusaha memenuhinya dengan berbagai cara baik melalui jalan yang konstruktif maupun yang merugikan demi mencapai kepuasan dan kebahagiaan (Hidayat, 2018).
Pemikiran Plato dan Aristoteles terus berpengaruh hingga abad ke-19, Peter Merkl menilai bahwa politik yang sehat adalah upaya menciptakan tatanan masyarakat yang adil, yang dilandasi oleh nilai-nilai dan ideologi tertentu. Sebaliknya, politik dapat berubah menjadi praktik yang buruk jika hanya dipahami sebagai perebutan kekuasaan, jabatan, dan kekayaan demi kepentingan pribadi. Dengan demikian, politik dapat dirangkum sebagai suatu mekanisme yang digunakan individu maupun kelompok untuk menghasilkan kebijakan demi kebaikan bersama melalui pemanfaatan kekuasaan yang sah dari negara.
Dengan memahami politik sebagai sarana untuk mewujudkan kebaikan bersama, maka muncul pertanyaan penting, bagaimana masyarakat dapat turut serta dalam proses tersebut? Salah satu jawabannya terletak pada partisipasi politik, yakni keterlibatan aktif warga negara dalam memengaruhi arah dan isi kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Partisipasi politik dapat dipahami sebagai segala bentuk aktivitas yang dilakukan warga negara dengan tujuan memengaruhi proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Keterlibatan ini dapat terwujud dalam berbagai cara, misalnya dengan memberikan suara dalam pemilu, melakukan komunikasi dengan pejabat publik atau tokoh politik untuk menyuarakan kepentingan masyarakat luas (lobbying), menjadi anggota atau pengurus organisasi yang berorientasi pada advokasi kebijakan, hingga membangun jaringan dengan pejabat negara yang kadang hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu. Bahkan, dalam beberapa kasus, partisipasi politik bisa berbentuk tindakan radikal seperti aksi kekerasan yang berusaha memengaruhi keputusan pemerintah, meski cara ini justru menimbulkan kerugian bagi manusia maupun harta benda (Miaz, 2012).
Menurut Miriam Budiardjo, partisipasi politik merupakan keikutsertaan aktif seorang individu atau kelompok dalam kehidupan politik, baik melalui pemilihan pemimpin negara maupun dengan memengaruhi kebijakan publik (public policy) secara langsung ataupun tidak langsung. Bentuk-bentuk keterlibatan ini meliputi kegiatan memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat politik, bergabung dengan partai atau organisasi kepentingan, serta menjalin komunikasi dengan pejabat pemerintah maupun anggota legislatif. (Miaz, 2012).
Masa Pergerakan Nasional (awal abad 20 - 1945)
Partisipasi politik pada masa Pergerakan Nasional dimulai dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Organisasi ini dianggap sebagai tonggak lahirnya kebangkitan nasional, karena untuk pertama kalinya perjuangan tidak lagi bersifat kedaerahan, melainkan mengarah pada cita-cita nasional. Meski awalnya masih terbatas pada kaum priyayi dan kalangan pelajar, terutama dari STOVIA, Budi Utomo berhasil menumbuhkan kesadaran baru bahwa perjuangan harus dilakukan secara kolektif dan terorganisir. Fokus utama mereka adalah pada bidang pendidikan, kebudayaan, dan sosial, bukan perlawanan langsung terhadap pemerintah kolonial. Namun, langkah awal ini memberi arah baru bagi masyarakat Indonesia untuk mulai ikut serta dalam kehidupan politik dengan cara yang lebih modern (Ahmadin, 2015).
Perkembangan selanjutnya terlihat dari berdirinya Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911. Awalnya, organisasi ini lahir dari kepentingan ekonomi, yaitu melindungi pedagang pribumi dari persaingan pedagang asing, terutama Tionghoa. Namun, di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, Sarekat Islam berkembang menjadi organisasi politik terbesar pada masanya yang mampu merangkul rakyat kecil dan kalangan menengah. Bentuk partisipasi politik yang diwujudkan melalui Sarekat Islam lebih nyata, misalnya dengan menggelar rapat umum, mengkritik kebijakan kolonial, hingga memobilisasi massa dalam jumlah besar. Organisasi ini menjadi sekolah politik pertama bagi rakyat, meskipun kemudian perpecahan internal antara kelompok moderat dan radikal membuat kekuatannya berkurang. Memasuki akhir 1920-an, muncul organisasi politik yang lebih modern, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai ini didirikan pada tahun 1927 oleh Ir. Soekarno bersama sejumlah tokoh muda nasionalis. PNI membawa gagasan baru dalam partisipasi politik, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan penuh Indonesia. Mereka menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial (politik non-kooperasi) dan memilih jalur propaganda, rapat akbar, serta penyadaran politik kepada masyarakat luas. Partisipasi politik melalui PNI semakin berani dan konfrontatif, sehingga membuat pemerintah kolonial Belanda bertindak keras dengan menangkap para pemimpin PNI, termasuk Soekarno, pada tahun 1929. Meski ditekan, semangat politik yang ditanamkan PNI berhasil menyebar luas dan melahirkan generasi baru pejuang kemerdekaan (Ahmadin, 2015).
Menjelang dekade 1930-an hingga 1945, partisipasi politik rakyat Indonesia semakin berkembang meskipun berada di bawah tekanan ketat pemerintah kolonial. Perjuangan politik juga masuk ke ruang parlemen, misalnya melalui Fraksi Nasional di Volksraad dan munculnya Petisi Sutarjo pada 1936 yang menuntut otonomi Indonesia dalam sepuluh tahun. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, bentuk partisipasi politik berubah arah. Jepang membentuk organisasi-organisasi seperti Putera dan Jawa Hokokai, yang awalnya ditujukan untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Namun, para tokoh nasionalis memanfaatkan wadah ini untuk menumbuhkan semangat kebangsaan dan mempersiapkan kemerdekaan. Partisipasi politik pada masa ini mencapai puncaknya menjelang proklamasi, ketika kaum pemuda mendorong para pemimpin bangsa untuk segera memerdekakan diri dari segala bentuk penjajahan (Ahmadin, 2015).
Dengan demikian, sepanjang masa Pergerakan Nasional 1908-1945, partisipasi politik masyarakat Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Dari perjuangan yang awalnya hanya berfokus pada perbaikan sosial dan pendidikan, bertransformasi menjadi gerakan politik massa yang menuntut kemerdekaan. Melalui organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan PNI, rakyat belajar bagaimana berpolitik, menyuarakan kepentingannya, dan berani mengambil bagian dalam perjuangan melawan kolonialisme. Semua proses ini akhirnya bermuara pada tercapainya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Masa Demokrasi Liberal (1950 - 1959)
Pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959), partisipasi politik masyarakat Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Setelah Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan dengan diberlakukannya UUDS 1950, sistem pemerintahan menganut model parlementer yang memberi peran besar kepada partai politik. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen, dan rakyat memiliki kesempatan luas untuk berpartisipasi melalui berbagai saluran politik yang tersedia. Dalam sistem multipartai yang terbuka, partai-partai menjadi instrumen utama bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Situasi ini menumbuhkan iklim demokrasi yang semarak, di mana setiap warga negara memiliki kebebasan untuk ikut serta dalam kehidupan politik, baik melalui keanggotaan partai, organisasi massa, maupun keterlibatan dalam proses pemilihan umum. Puncak dari partisipasi politik rakyat pada periode ini adalah penyelenggaraan Pemilu 1955, pemilu pertama yang digelar secara demokratis di Indonesia. Pemilu ini berlangsung dalam dua tahap, yaitu pemilihan anggota DPR pada bulan September dan pemilihan anggota Konstituante pada bulan Desember. Pemilu 1955 disebut sebagai salah satu pemilu paling demokratis yang pernah diadakan di Indonesia karena tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi, mencapai lebih dari 90% dari jumlah pemilih terdaftar. Rakyat berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara, menandakan adanya antusiasme luar biasa untuk ikut serta menentukan arah politik bangsa yang baru merdeka kurang dari sepuluh tahun. Pemilu ini juga memperlihatkan bahwa kesadaran politik masyarakat telah berkembang pesat, dan demokrasi mendapatkan legitimasi kuat melalui partisipasi rakyat yang massif (Hakiki & Saiman, n.d.).
Namun, dinamika politik yang terbuka tersebut justru melahirkan fragmentasi politik yang kompleks. Banyaknya partai yang ikut serta dalam pemilu menyebabkan suara rakyat terpecah ke berbagai aliran ideologi. Empat partai besar PNI, Masyumi, NU, dan PKI mendapatkan suara signifikan, tetapi tidak ada satupun yang meraih mayoritas absolut. Kondisi ini membuat pembentukan kabinet selalu harus melalui koalisi, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakstabilan politik. Kabinet silih berganti jatuh sebelum menyelesaikan masa jabatannya karena pertentangan kepentingan antar partai. Selain itu, Konstituante yang dipilih melalui Pemilu 1955 juga gagal menjalankan tugas utamanya, yakni menyusun konstitusi baru, akibat perdebatan ideologis yang tidak kunjung menemukan titik temu. Dengan demikian, masa Demokrasi Liberal memperlihatkan paradoks dalam partisipasi politik. Di satu sisi, rakyat memperoleh kesempatan luas untuk menyalurkan aspirasi melalui pemilu dan partai politik, bahkan mencapai puncak dengan tingginya keterlibatan dalam Pemilu 1955. Namun di sisi lain, fragmentasi politik yang tajam dan ketidakmampuan partai-partai membangun stabilitas pemerintahan justru menyebabkan sistem parlementer tidak berjalan efektif. Akhirnya, kegagalan ini membuka jalan bagi Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengakhiri masa Demokrasi Liberal dan menggantinya dengan sistem Demokrasi Terpimpin (Hakiki & Saiman, n.d.).
Masa Demokrasi Terpimpin (1959 - 1965)
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) menandai perubahan besar dalam dinamika partisipasi politik di Indonesia. Setelah kekecewaan mendalam terhadap sistem Demokrasi Liberal yang dianggap tidak stabil karena rapuhnya koalisi kabinet, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak saat itu, sistem politik Indonesia bergeser ke arah Demokrasi Terpimpin. Perubahan ini secara signifikan membatasi ruang partisipasi politik rakyat karena mekanisme demokrasi parlementer yang sebelumnya memberi peluang besar kepada partai-partai politik dipersempit dan dikendalikan langsung oleh Presiden. Parlemen hasil Pemilu 1955 dibubarkan, lalu diganti dengan DPR Gotong Royong yang anggotanya ditunjuk langsung oleh Soekarno, sehingga fungsi legislatif kehilangan kemandiriannya dan tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat secara luas. Dalam konsep Demokrasi Terpimpin, partisipasi politik tidak lagi bersifat bebas dan terbuka, melainkan lebih banyak dimobilisasi oleh negara sesuai visi politik Soekarno. Presiden berusaha menyingkirkan sistem oposisi yang dianggap sebagai sumber instabilitas dan menggantinya dengan gagasan kabinet gotong royong yang melibatkan semua golongan. Melalui konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), Soekarno berupaya mengakomodasi seluruh kekuatan politik besar, termasuk PKI yang semakin mendapat ruang untuk berkembang. Namun, mobilisasi politik ini lebih banyak diarahkan dari atas ke bawah, di mana rakyat digerakkan untuk mendukung program dan pidato Presiden, bukan untuk menyampaikan aspirasi mereka secara independent (Indrajat, 2016).
Pembatasan terhadap partai politik juga semakin jelas terlihat. Jumlah partai dikurangi melalui regulasi ketat, hanya menyisakan sepuluh partai yang diakui pemerintah. Mereka diwajibkan bergabung dalam Front Nasional yang didasarkan pada prinsip NASAKOM. Dengan demikian, partisipasi politik rakyat menjadi terpusat pada struktur yang dikendalikan negara, bukan pada kebebasan berorganisasi atau beroposisi. Meskipun secara formal rakyat masih dilibatkan dalam berbagai organisasi massa, pada praktiknya partisipasi tersebut diarahkan untuk memperkuat legitimasi pemerintah Soekarno dan mempertahankan stabilitas politik yang didefinisikan oleh Presiden sendiri. Namun, dinamika partisipasi politik di masa Demokrasi Terpimpin tidak sepenuhnya terkendali. Meskipun Soekarno berusaha menjaga keseimbangan kekuatan melalui NASAKOM, kenyataannya muncul persaingan tajam antara Angkatan Darat dan PKI. PKI berhasil memanfaatkan mobilisasi massa untuk memperluas pengaruhnya hingga menimbulkan kekhawatiran kelompok lain, sementara militer semakin mencurigai peran mereka. Pertarungan politik ini akhirnya berujung pada tragedi Gerakan 30 September 1965, yang justru menunjukkan rapuhnya sistem Demokrasi Terpimpin. Dengan demikian, meskipun periode ini ditandai dengan tingginya mobilisasi massa, partisipasi politik rakyat sebenarnya bersifat semu karena diarahkan dan dibatasi oleh negara, dan bukannya lahir dari kebebasan politik yang sejati (Indrajat, 2016).
Masa Orde Baru (1966 - 1998), Masa Reformasi (1998–sekarang)
Pada masa Orde Baru (1966 - 1998), partisipasi politik masyarakat Indonesia mengalami perubahan besar yang sangat berbeda dibandingkan periode sebelumnya. Setelah kejatuhan Demokrasi Terpimpin, pemerintahan di bawah Soeharto berupaya menciptakan stabilitas politik dengan cara mengendalikan partisipasi rakyat. Partai politik dipersempit jumlahnya melalui fusi pada tahun 1973 yang menyisakan hanya tiga kekuatan yaitu Golongan Karya (Golkar), PPP, dan PDI. Dari ketiganya, Golkar menjadi alat politik dominan rezim karena mendapat dukungan penuh dari birokrasi dan militer. Pemilu memang diselenggarakan secara rutin setiap lima tahun, namun sifatnya tidak kompetitif karena mekanisme politik diarahkan untuk memastikan kemenangan Golkar. Dengan kondisi ini, partisipasi rakyat dalam pemilu lebih bersifat formalitas daripada wadah nyata untuk menyalurkan aspirasi politik. Partisipasi politik rakyat pada masa Orde Baru cenderung pasif dan semu. Masyarakat diarahkan untuk berpartisipasi melalui jalur yang sudah ditentukan pemerintah, terutama lewat Golkar dan organisasi massa yang dibina negara. Kritik terhadap pemerintah dibatasi secara ketat, dan oposisi politik ditekan melalui kebijakan represif maupun kooptasi. Pemilu yang diselenggarakan secara rutin tidak mencerminkan kompetisi yang adil, melainkan sekadar sarana legitimasi bagi kelanjutan kekuasaan rezim. Dengan demikian, walaupun tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu secara statistik tinggi, hal itu tidak mencerminkan keterlibatan politik yang sesungguhnya, melainkan partisipasi semu yang terikat pada struktur politik yang otoriter (Bayani et al., 2025).
Situasi berubah drastis ketika memasuki era Reformasi tahun 1998, setelah runtuhnya rezim Soeharto akibat krisis ekonomi, politik, dan tuntutan rakyat. Reformasi membawa semangat baru berupa demokratisasi dan liberalisasi politik. Pembatasan yang berlaku pada masa Orde Baru dicabut, dan sistem multipartai kembali diberlakukan. Pemilu yang lebih demokratis digelar, dimulai dari Pemilu 1999, diikuti dengan perubahan fundamental seperti pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004. Hal ini membuka ruang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan kepemimpinan nasional, serta memperkuat legitimasi pemerintahan. Partisipasi politik rakyat di era Reformasi semakin berkembang, bukan hanya melalui pemilu dan partai politik, tetapi juga melalui gerakan masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, serta pemanfaatan media sosial sebagai sarana advokasi dan pengawasan. Tingkat partisipasi pemilih pun relatif tinggi, seperti dalam Pemilu 2019 yang mencapai 81%. Selain itu, desentralisasi pascareformasi mendorong partisipasi politik di tingkat daerah, memungkinkan masyarakat lebih terlibat dalam menentukan arah pembangunan lokal. Kehadiran media sosial semakin memperluas ruang partisipasi, terutama di kalangan generasi muda yang lebih aktif menyuarakan pendapat dan mengawasi jalannya pemerintahan (Bayani et al., 2025).
Namun, partisipasi politik di era Reformasi juga menghadapi tantangan serius. Fenomena politik uang, pragmatisme partai, rendahnya literasi politik, dan menguatnya polarisasi menjadi problem yang menghambat kualitas demokrasi. Praktik politik transaksional sering kali membuat partisipasi rakyat kehilangan makna idealnya sebagai kontrol terhadap kekuasaan, sementara penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial menimbulkan keretakan sosial dan mengurangi kualitas deliberasi publik. Dengan demikian, meskipun Reformasi telah membuka jalan bagi partisipasi politik yang lebih luas dan demokratis, konsolidasi demokrasi Indonesia masih menghadapi pekerjaan rumah besar untuk meningkatkan kualitas partisipasi politik agar benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat dan memperkuat tata kelola pemerintahan yang akuntabel.
Referensi
Ahmadin. (2015). SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL. RAYHAN INTERMEDIA.
Bayani, A. Z., Gempita, M. A., Heriarji, R. W., & Al-Ghifari, Z. N. (2025). Transformasi Demokrasi Indonesia: Menuju Keberlanjutan Politik yang Inklusif dan Partisipatif. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 24(2), 538–543. https://doi.org/10.21009/jimd.v24i2.53154
Hakiki, P., & Saiman, D. M. (n.d.). SISTEM PEMERINTAHAN PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL TAHUN 1949-1959.
Hidayat, A. (2018). PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE BARU (1966-1998). Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 17(2), 155–164. https://doi.org/10.21009/jimd.v17i2.9090
Miaz, Y. (2012). Partisipasi Politik Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde Baru dan Reformasi. UNP PRESS.
Universitas Lampung, & Indrajat, H. (2016). DEMOKRASI TERPIMPIN SEBUAH KONSEPSI PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG DEMOKRASI. SOSIOLOGI: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, 18(1), 53–62. https://doi.org/10.23960/sosiologi.v18i1.72
Rekomendasi bahan bacan
- Buku
- Yalvema Miaz – Partisipasi Politik: Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde Baru dan Reformasi
- Inka Nusamuda Pratama et al. – Penguatan Partisipasi Politik Inklusif dalam Meningkatkan Pemahaman dan Keterlibatan Generasi Z pada Pemilu 2024 di Desa Bagik Polak
- Artikel Populer/Opini Publik
- "Transformasi Demokrasi Indonesia: Menuju Keberlanjutan Politik yang Inklusif dan Partisipatif"
- "Partisipasi Politik dan Digitalisasi Pemilu di Indonesia"Situngkir
By: M Alif Abar
Berita Lainnya
-
Edukasi Politik dan Keterlibatan Kita dalam Demokrasi Digital Citizenship dan Warna dalam Perbedaan
| 2025-12-13 -
Etika Publik Dan Tanggung Jawab sosial, perilaku sosial dan perubahan sosial
| 2025-12-13 -
System Politik di Indonesia dan Lembaga Politik di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Pemilu dan Praktik Pemilihan Umum di Indonesia
| 2025-12-13 -
Mengenal Teori-teori Besar Tentang Cara Melanggengkan Kekuasaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Ekonomi Yang Menindas dan Oligarki
| 2025-12-13 -
Histori dan Tumbuh Kembang Partisipasi Politik di Indonesia Dinamika Perkembangan Partisipasi Politik dari Masa ke Masa
| 2025-12-13 -
Kekuatan Lokal dalam Partisipasi dan Representasi Politik
| 2025-12-13 -
Media dalam demokrasi modern menghadapi ancaman hoaks dan disinformasi
| 2025-12-13 -
Keterlibatan Komunitas dan Manajemen Relawan untuk Dampak Positif di Tingkat Lokal
| 2025-12-13