Evolusi Historis Masyarakat Sipil Ketegangan dengan Negara dan Masa Depan di Era Digital
Ditulis oleh M. Alif Akbar | 2025-12-12
Narasi masyarakat sipil sudah ada sejak abad ke-18, ketika diteliti lebih jauh ternyata ide tentang masyarakat sipil sudah berkembang sejak tahun 106 - 43 SM, masyarakat sipil merujuk pada kelompok yang berorientasi pada isu, dapat dalam bentuk organisasi formal maupun non formal yang meliputi asosiasi ekonomi, budaya, informasi, dan Pendidikan. Karakter dari masyarakat sipil berkaitan dengan pengaturan formal, metode dan tujuan, pelembagaan dan pluralism (Efendi, 2019).
Dalam kerangka materialisme historis, Marx melihat masyarakat sipil sebagai ruang di mana relasi-relasi produksi kapitalis berlangsung. Di dalamnya terdapat pemisahan antara pemilik alat produksi (borjuis) dan pekerja yang tidak memiliki apa-apa kecuali tenaga kerja mereka (proletariat). Sistem kepemilikan pribadi menjadi akar munculnya ketimpangan struktural ini. Pekerja mengalami alienasi dalam beberapa bentuk: dari pekerjaannya yang membosankan dan mekanistik, dari majikannya yang mengeksploitasi, dan bahkan dari sesama buruh karena mereka bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup. Masyarakat sipil yang dikendalikan oleh prinsip kapitalisme juga menjadi arena eksploitasi. Pekerja diperas untuk keuntungan pemilik modal. Dengan kata lain, masyarakat sipil dalam sistem kapitalis bukanlah arena kebebasan dan partisipasi, melainkan ruang dominasi dan ketidakadilan struktural (2008 | Sansen Weblog | Laman 3, n.d.).
Sedangkan menurut Hegel, masyarakat sipil muncul pasca Revolusi Prancis sebagai bentuk masyarakat yang telah terbebas dari sistem feodalisme. Dalam masyarakat ini, individu memiliki kebebasan untuk memilih gaya hidup sesuai keinginan dan kemampuan mereka, tanpa intervensi negara. Negara tidak lagi mendikte bagaimana seharusnya individu hidup, karena terdapat pemisahan antara masyarakat sipil dan negara. Masyarakat sipil terdiri dari individu-individu yang otonom dan berdiri sendiri (atomistik). Karena itu, kehendak dan kebebasan mereka bersifat subjektif dan partikular. Namun, dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, mereka tetap saling berhubungan. Masyarakat sipil menjadi arena tempat berbagai kepentingan dan kebutuhan manusia saling bertemu dan bersaing. Inilah yang membuat masyarakat sipil menurut Hegel sebagai masyarakat yang berorientasi pada kerja. Karena negara tidak membatasi kegiatan ekonomi mereka, upaya akumulasi kekayaan pun terjadi secara masif. Dari sisi struktur sosial, masyarakat sipil dibagi menjadi tiga kelas berdasarkan jenis pekerjaan: kelas petani (yang bertugas memenuhi kebutuhan keluarga melalui pengolahan tanah), kelas bisnis (yang mencakup pengrajin, pengusaha manufaktur, dan pedagang), dan kelas pelayan publik (public servants) yang mengurusi kepentingan umum. Meski pejabat publik digaji seperti anggota masyarakat sipil, fungsi mereka sebenarnya menjembatani masyarakat sipil dengan negara, sehingga berada di wilayah peralihan menuju negara (2008 | Sansen Weblog | Laman 3, n.d.).
Dalam masyarakat sipil, hukum memiliki peran sentral karena menjadi penuntun kebebasan dan akal rasional individu dalam relasi sosial. Kebebasan dalam masyarakat sipil harus diarahkan secara rasional agar tidak merugikan sesama. Karena karakter atomistik dan kerja sebagai ciri utama, bantuan terhadap kaum miskin dalam masyarakat sipil cenderung diberikan dalam bentuk kesempatan kerja, bukan bantuan langsung. Hal ini dipercaya akan meningkatkan produktivitas kolektif. Ketika masyarakat sipil mencapai titik kejenuhan produksi akibat produktivitas yang tinggi, Hegel menyebutnya sebagai fase kedewasaan masyarakat sipil. Pada fase ini, masyarakat sipil terdorong untuk mencari pasar baru melalui kolonisasi, yang menurut Hegel dilakukan demi memenuhi kebutuhan keluarga di wilayah lain.
Sementara itu konteks negara dalam pandangan Hegel, negara dipahami sebagai entitas universal yang menyatukan keluarga dan masyarakat sipil. Sebagai badan kolektif tertinggi, negara mewakili kehendak bersama dari kehendak-kehendak individu. Dalam pandangan Hegel, kehendak umum negara sebenarnya telah terkandung dalam tindakan warga negara saat mereka berusaha memenuhi kebutuhan pribadi sekaligus kebutuhan sosial. Dengan demikian, negara menjadi penyalur dan penyatu dari berbagai aspirasi individu dan sosial yang berkembang dalam masyarakat sipil dan keluarga. Negara, dalam kapasitasnya, mengelola sistem kebutuhan masyarakat dengan menjamin hak milik pribadi, mengatur struktur kelas sosial, dan mengorganisasi pembagian kerja. Instrumen utama negara dalam menjalankan fungsinya adalah hukum. Melalui regulasi ini, negara mendorong munculnya tindakan yang rasional dalam masyarakat. Pembatasan yang diberlakukan negara bukanlah pembatasan sewenang-wenang, melainkan merupakan bentuk rasionalitas yang diperlukan agar kebebasan individu tidak meniadakan hak dan eksistensi orang lain. Bagi Hegel, kebebasan sejati hanya bisa tercapai bila individu tunduk pada hukum yang rasional (Stone, 2020).
Hegel memandang negara sebagai bentuk kesatuan mutlak yang tidak dapat dipisahkan ke dalam lembaga-lembaga yang berdiri sendiri. Ia menolak gagasan pemisahan kekuasaan yang lazim dalam pemikiran liberal. Sebagai gantinya, Hegel menyarankan adanya pembagian tugas dalam mengurus kepentingan universal. Negara ideal menurutnya adalah monarki konstitusional, yang terdiri dari Raja sebagai pemersatu dan pemegang otoritas tertinggi, badan eksekutif yang terdiri dari birokrasi profesional, dan legislatif yang terdiri atas perwakilan dari berbagai kelas masyarakat seperti petani, pemilik tanah, dan kaum bisnis. Para wakil ini bertugas mencegah tindakan sewenang-wenang dari raja dan memastikan bahwa kepentingan kelompok tidak mengancam integritas negara. Dalam model ini, monarki konstitusional dianggap sebagai bentuk negara modern yang rasional karena hasil dari proses evaluatif terhadap bentuk monarki lama (Stone, 2020).
Kritik Karl Marx terhadap Konsep Negara dan Masyarakat Sipil Hegel
Karl Marx menyampaikan kritik tajam terhadap pandangan Hegel mengenai negara dan masyarakat sipil. Menurutnya, pemisahan antara negara dan masyarakat sipil seperti yang diajukan Hegel justru memperparah keterasingan manusia. Dalam masyarakat sipil, individu cenderung egois dan saling menggunakan satu sama lain untuk kepentingan pribadi, yang pada akhirnya menimbulkan kekacauan sosial. Oleh karena itu, negara muncul sebagai kekuatan koersif yang memaksa individu untuk bersikap sosial melalui ketaatan terhadap hukum. Namun bagi Marx, jika manusia tidak teralienasi dari sifat sosialnya, maka negara tidak akan lagi dibutuhkan. Marx berpandangan bahwa bukan negara yang mendasari keberadaan masyarakat, melainkan manusialah yang menjadi dasar kenyataan sosial. Oleh karena itu, ia membalik logika Hegel dengan menempatkan masyarakat sipil sebagai fondasi negara, bukan sebaliknya. Bagi Marx, masyarakat sipil dalam dunia kapitalis adalah tempat di mana kelas borjuis mendominasi melalui kepemilikan alat produksi. Negara, dalam pandangan ini, hanyalah alat untuk melanggengkan kekuasaan kaum borjuis atas kaum pekerja. Lebih jauh, Marx menilai bahwa struktur negara seperti yang dijelaskan Hegel tidak menyelesaikan konflik kelas, melainkan justru menginstitusikannya. Pertama, karena badan legislatif berisi perwakilan dari berbagai kelas, maka konflik di antara kelas-kelas itu akan tetap eksis. Kedua, birokrasi yang digambarkan Hegel sebagai netral, menurut Marx akan memperjuangkan kepentingan kelas asalnya. Ketiga, pemisahan yang tajam antara negara dan masyarakat sipil hanya akan mempertajam benturan antara dua kepentingan yang berbeda .
Dalam pemikiran Marx, negara bukanlah penjelmaan kehendak umum seperti yang digambarkan oleh Hegel, melainkan alat kelas dominan untuk mempertahankan kepentingan ekonomi mereka. Berdasarkan pendekatan materialisme sejarah, negara merupakan bagian dari suprastruktur yang berfungsi untuk mempertahankan infrastruktur ekonomi kapitalis. Hukum, moral, agama, dan ideologi negara adalah alat legitimasi untuk melanggengkan eksploitasi terhadap kaum buruh. Negara muncul karena kelas borjuis membutuhkan perlindungan hukum dan politik bagi sistem produksi kapitalis yang mereka kuasai. Relasi kuasa dalam masyarakat sipil kapitalis menimbulkan tirani struktural yang direproduksi oleh negara. Dalam konteks ini, negara berfungsi untuk memastikan agar sistem kapitalisme tetap stabil, bahkan bila perlu dengan kekerasan atau represi terhadap kelompok yang menentangnya. Marx menawarkan visi perubahan yang radikal terhadap struktur sosial dan politik kapitalisme. Ia meyakini bahwa keterasingan manusia bersumber dari struktur ekonomi kapitalis, dan oleh karena itu hanya bisa diatasi melalui perubahan sistem ekonomi. Perubahan tersebut dilakukan melalui revolusi kelas di mana proletariat akan menggulingkan kekuasaan borjuis dan mengambil alih alat-alat produksi(2008 | Sansen Weblog | Laman 3, n.d.).
Dalam tahap transisi pasca-revolusi, negara masih dibutuhkan dalam bentuk “diktator proletariat” untuk menjamin bahwa kekuasaan kapitalis tidak kembali. Dalam masa ini, buruh akan dibebaskan dari spesialisasi sempit akibat pembagian kerja, menuju kemampuan kerja yang lebih universal.
Kesimpulannya, Marx membayangkan sebuah masyarakat komunis yang bebas dari eksploitasi dan kelas sosial. Dalam masyarakat ini, tidak ada lagi dominasi satu kelompok atas kelompok lain, dan negara sebagai alat kekuasaan pun menjadi tidak relevan. Produksi dikelola secara kolektif oleh individu-individu yang setara dan bebas. Kebebasan individu dan kehidupan kreatif menjadi ciri utama masyarakat ini, yang terbebas dari keterasingan dan represi
Berbagai pendekatan akademik di Indonesia telah mengadopsi konsep civil society ini dengan istilah seperti "masyarakat sipil" atau "masyarakat madani." Istilah "madani" sendiri berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Masyarakat madani merujuk pada komunitas Islam yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu masyarakat kota yang berperadaban, dengan karakteristik seperti kesetaraan, penghargaan terhadap pluralitas, meritokrasi, keterbukaan, toleransi, serta pengambilan keputusan melalui musyawarah (Nurcholish Madjid, 1999). Dengan demikian, masyarakat madani dipahami sebagai masyarakat yang beradab. Selain itu, masyarakat sipil juga menggambarkan kondisi masyarakat yang otonom dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani didefinisikan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai, dan hukum yang ditopang oleh kemajuan teknologi yang beradab, serta berlandaskan pada iman dan ilmu pengetahuan. Sementara itu, menurut Syamsudin Haris, masyarakat madani merupakan ruang interaksi sosial yang berada di luar jangkauan kontrol negara dan terdiri atas lingkungan-lingkungan sosial paling dekat dengan warga, seperti keluarga, asosiasi sukarela, gerakan masyarakat, serta berbagai bentuk komunikasi antarkomunitas (Efendi, 2019).
Masyarakat Sipil vs Negara dalam Konteks Negara Sipil
Dalam diskursus filsafat politik modern, relasi antara masyarakat sipil dan negara merupakan tema sentral yang mencerminkan ketegangan antara ruang publik yang otonom dan kekuasaan negara yang bersifat koersif. Dalam kerangka negara sipil (civil state), hubungan ini tidak lagi ditandai oleh subordinasi masyarakat kepada negara, melainkan lebih bersifat saling melengkapi secara normatif dan fungsional. Hegel memandang bahwa masyarakat sipil memiliki potensi konflik internal karena bersifat atomistik dan partikular; setiap individu mengejar kepentingan subjektifnya. Oleh karena itu, negara diperlukan sebagai mediator dan pemersatu, menjamin bahwa kebebasan individual tidak mengarah pada anarki, melainkan pada keteraturan sosial yang rasional (Hegel, Philosophy of Right, 1821). Dalam hal ini, negara bukanlah entitas yang menindas masyarakat sipil, tetapi institusi yang menyatukan kepentingan partikular menuju kehendak umum (universal will).
Konsepsi ini bertolak belakang dengan pandangan negara otoriter yang melihat masyarakat sipil sebagai ancaman atau pesaing kekuasaan. Dalam negara sipil yang demokratis, negara menghormati dan memfasilitasi kebebasan berserikat, berpendapat, dan berorganisasi dari masyarakat sipil sebagai bagian dari ekosistem tata kelola demokratis. Negara sipil ditandai dengan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan keberadaan ruang publik deliberatif. Dengan demikian, negara sipil adalah bentuk negara yang tidak mendominasi masyarakat sipil, melainkan bekerja melalui prinsip konstitusionalitas dan partisipasi warga untuk menciptakan keadilan sosial. Relasi antara masyarakat sipil dan negara dalam konteks ini bersifat simbiotik: negara memberikan kerangka hukum dan perlindungan bagi masyarakat sipil, sementara masyarakat sipil memberikan legitimasi dan kontrol terhadap kekuasaan negara.
peran masyarakat sipil dalam demokrasi, hak asasi manusia, dan transformasi digital
Masyarakat sipil memiliki posisi strategis dalam menopang dan memperkuat sistem demokrasi. Dalam kerangka teori demokrasi partisipatif maupun deliberatif, masyarakat sipil sebagai aktor penting yang memungkinkan warga negara berpartisipasi secara aktif di luar institusi negara dan pasar. Kehadiran masyarakat sipil menciptakan ruang publik yang terbuka, tempat di mana aspirasi, kritik, dan gagasan alternatif dapat tumbuh dan memengaruhi arah kebijakan publik. Organisasi non-pemerintah, komunitas advokasi, kelompok keagamaan, dan media independen menjadi bagian dari elemen-elemen masyarakat sipil yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan (watchdog) untuk mencegah terjadinya korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan penyimpangan demokrasi. Lebih dari itu, masyarakat sipil memainkan peran penting dalam pendidikan politik dan pembangunan kesadaran kritis warga. Melalui kegiatan diskusi publik, kampanye isu, serta pelatihan advokasi, masyarakat sipil mendidik publik agar memahami hak-haknya sebagai warga negara, serta mendorong keterlibatan aktif dalam proses politik. Kontribusi ini bukan hanya memperkaya proses demokrasi, tetapi juga memperkuat legitimasi pemerintahan yang berdasarkan partisipasi luas. Dengan demikian, masyarakat sipil bukan sekadar pelengkap demokrasi, melainkan pilar yang menjaga substansi demokrasi tetap hidup dan berdaya (Hadi, 2010).
Di samping peran demokratis, masyarakat sipil juga merupakan aktor kunci dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks negara demokrasi maupun otoriter, organisasi masyarakat sipil seringkali menjadi garda terdepan dalam membela kelompok rentan, korban kekerasan, dan mereka yang hak-haknya dilanggar. Fungsi ini dijalankan melalui berbagai bentuk advokasi, seperti pendampingan hukum, kampanye publik, hingga pelaporan kasus-kasus pelanggaran HAM ke lembaga nasional maupun internasional. Lebih lanjut, masyarakat sipil juga berkontribusi dalam pembangunan budaya HAM di tengah masyarakat. Ini dilakukan melalui edukasi publik, penyebaran nilai-nilai toleransi, serta upaya memperkuat solidaritas sosial lintas identitas. Budaya HAM tidak dapat dibentuk hanya melalui regulasi negara, melainkan memerlukan partisipasi aktif dari kelompok masyarakat yang mendorong norma-norma keadilan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Dalam masyarakat yang plural, fungsi ini sangat vital untuk menjaga kohesi sosial dan mencegah konflik berbasis identitas maupun kepentingan.
Berkembangnya teknologi menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi masyarakat sipil. teknologi digital memungkinkan masyarakat sipil memperluas jangkauan komunikasi dan mobilisasi massa secara lebih cepat dan efisien. Media sosial, platform kampanye digital, dan berbagai alat teknologi informasi telah menjadi medium penting bagi masyarakat sipil dalam menyampaikan isu, memobilisasi dukungan, dan menekan aktor-aktor kekuasaan untuk bertanggung jawab secara terbuka. Namun demikian, era digital juga menghadirkan ancaman serius. Penyebaran disinformasi, polarisasi opini publik, serta praktik pengawasan digital oleh negara terhadap aktivis dan jurnalis menimbulkan risiko baru bagi kebebasan sipil. Rezim yang represif kini menggunakan alat digital untuk membungkam suara kritis secara halus namun sistematis. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat sipil dituntut untuk tidak hanya beradaptasi dengan teknologi, tetapi juga memiliki kapasitas literasi digital yang kuat. Masyarakat sipil perlu mengambil peran dalam mendidik publik tentang keamanan digital, perlindungan data pribadi, dan etika penggunaan ruang digital agar transformasi digital tidak justru merusak nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun.
Daftara Pustaka
2008 | sansen Weblog | Laman 3. (n.d.). Retrieved July 28, 2025, from https://sansigner.wordpress.com/2008/page/3/
Cohen, Jean L. & Arato, Andrew. (1992). Civil Society and Political Theory. Cambridge, MA: MIT Press.
Efendi, D. (2019). Masyarakat Sipil dan Neraca Demokrasi Eelektoral 1.
Hadi, O. H. (2010). PERAN MASYARAKAT SIPIL DALAM PROSES DEMOKRATISASI. Makara Human Behavior Studies in Asia, 14(2), 117. https://doi.org/10.7454/mssh.v14i2.674
Stone, A. (2020). Hegel and Colonialism. Hegel Bulletin, 41(2), 247–270. https://doi.org/10.1017/hgl.2017.17
Hegel, G. W. F. (1821). Elements of the Philosophy of Right. Edited by Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press, 1991.
Habermas, Jürgen. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. Cambridge: MIT Press.
Keane, John. (1998). Civil Society: Old Images, New Visions. Stanford: Stanford University Press.
Rekomendasi bahan bacan
- Buku
- Jean L. Cohen & Andrew Arato – Civil Society and Political Theory (1992)
- John Keane – Civil Society: Old Images, New Visions (1998)
- Larry Diamond – Developing Democracy: Toward Consolidation (1999)
- Robert Putnam – Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (2000)
- Antonio Gramsci – Selections from the Prison Notebooks
- Artikel Ilmiah
- "Civil Society, the State and Social Movements in the Context of Globalization" – Sociological Inquiry
- "Digital Civil Society: Civic Engagement in the Network Society" – Journal of Information Technology & Politics
- "The Future of Civil Society: Between Resilience and Repression" – Journal of Civil Society
- Artikel Populer/Opini Publik
- "Masyarakat Sipil vs Negara: Hubungan Kritis atau Rekonsiliasi?" – Tirto.id
- "Civil Society in the Digital Era: Opportunities and Risks" – The Conversation Indonesia
- "Kebebasan Sipil dalam Ancaman" – Human Rights Watch / Amnesty Indonesia
- Dokumen Resmi
- CIVICUS – State of Civil Society Report (Tahunan)
- YAPPIKA / INFID / TIFA – Laporan Civic Space dan Digital Engagement (2021–2023)
- Digital Rights Foundation / SAFEnet
By: M Alif Akbar
Berita Lainnya
-
Edukasi Politik dan Keterlibatan Kita dalam Demokrasi Digital Citizenship dan Warna dalam Perbedaan
| 2025-12-13 -
Etika Publik Dan Tanggung Jawab sosial, perilaku sosial dan perubahan sosial
| 2025-12-13 -
System Politik di Indonesia dan Lembaga Politik di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Pemilu dan Praktik Pemilihan Umum di Indonesia
| 2025-12-13 -
Mengenal Teori-teori Besar Tentang Cara Melanggengkan Kekuasaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia
| 2025-12-13 -
Sistem Ekonomi Yang Menindas dan Oligarki
| 2025-12-13 -
Histori dan Tumbuh Kembang Partisipasi Politik di Indonesia Dinamika Perkembangan Partisipasi Politik dari Masa ke Masa
| 2025-12-13 -
Kekuatan Lokal dalam Partisipasi dan Representasi Politik
| 2025-12-13 -
Media dalam demokrasi modern menghadapi ancaman hoaks dan disinformasi
| 2025-12-13 -
Keterlibatan Komunitas dan Manajemen Relawan untuk Dampak Positif di Tingkat Lokal
| 2025-12-13