Ekososlab dan Kementerian Kehutanan Bahas Penguatan Perhutanan Sosial sebagai Pilar Ekonomi Hijau

Ditulis oleh Admin | 2025-09-25

Jakarta, 23 September 2025. Sebagai bagian dari upaya memperkuat kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, Laboratorium Keadilan Sosial dan Ekologis (Ekososlab) berpartisipasi dalam Diskusi Nasional Perhutanan Sosial yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Hotel Menara Peninsula, Jakarta.

Kegiatan ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan Direktorat Pengendalian Perhutanan Sosial, akademisi, dan pendamping lapangan dari empat wilayah kerja Ekososlab : Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Riau, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Diskusi berlangsung selama satu hari penuh dengan fokus pada penguatan kelembagaan, pengawasan, dan percepatan implementasi program perhutanan sosial di lapangan.

Kepala Subdirektorat Pelembagaan Perhutanan Sosial, Priyo Kusumedi, S.Hut., M.P., membuka diskusi dengan menjelaskan arah kebijakan nasional yang sejalan dengan ASTA CITA 2 (kemandirian pangan, energi, air, dan ekonomi hijau-biru) serta ASTA CITA 8 (pembangunan desa dan daerah). “Perhutanan sosial kini menjadi bagian penting dari proyek strategis nasional untuk mencapai swasembada dan keadilan ekologis,” ujarnya.

Menurutnya, hingga Agustus 2025, pemerintah telah memberikan akses kelola hutan kepada masyarakat seluas 8,3 juta hektare melalui 9.904 izin perhutanan sosial, dengan 6.511 kelompok tani hutan (KTH) yang telah mendapat pendampingan aktif. “Fokus kami bukan hanya memberikan izin, tetapi memastikan masyarakat mampu mengelola dengan baik melalui pendekatan kolaboratif,” tambahnya.

Dalam paparannya, Priyo menekankan pentingnya tiga pilar utama perhutanan sosial:

  1. Kelola kelembagaan, untuk memperkuat struktur kelompok masyarakat
  2. Kelola kawasan, agar hutan dikelola lestari; dan
  3. Kelola usaha, guna memastikan keberlanjutan ekonomi lokal.

Ia juga memperkenalkan sistem digital baru bernama “Go-Kendali”, sebuah dashboard pemantauan nasional untuk memastikan program berjalan transparan dan terukur. Pendekatan ini disebut sebagai “improvement approach”, yakni peningkatan dan pendampingan, bukan penghukuman, terhadap kelompok pengelola hutan.

Sementara itu, Gunadi, Kepala Sub Pemantauan Perhutanan Sosial, menjelaskan bahwa skema perhutanan sosial berlandaskan pada PP No. 9 Tahun 2021 yang memberikan akses legal bagi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan. Tujuannya, kata Gunadi, adalah memastikan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga fungsi ekologi hutan.

“Perhutanan sosial hadir untuk menjawab ketimpangan penguasaan lahan, mengurangi konflik tenurial, dan mendukung komitmen Indonesia terhadap pengendalian perubahan iklim,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa masyarakat yang telah memiliki izin pengelolaan berhak mendapatkan pendampingan, bantuan teknis, dan akses usaha hasil hutan kayu maupun non-kayu.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan sesi curah pendapat dari empat tim regional Ekososlab yang memaparkan tantangan dan peluang di wilayah masing-masing :

  • Ekososlab Sulawesi Selatan menekankan pentingnya sinergi dengan pihak swasta dan BUMN seperti PLN, Telkom, serta bank pemerintah untuk mendukung pendanaan dan promosi produk kelompok tani melalui SMESCO Indonesia.
  • Ekososlab Kalimantan Selatan menyoroti perlunya local campaign dan penguatan kemitraan dengan HIMBARA guna mendukung program pemberdayaan masyarakat di KHDTK Kintap.
  • Ekososlab Riau menegaskan pentingnya menyusun roadmap pengembangan ekoeduwisata dan diversifikasi produk berbasis hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti lilin aromaterapi dan minyak atsiri.
  • Ekososlab NTB mengusulkan penguatan koperasi dan sertifikasi produk Sekolah Pangan Lestari, termasuk izin PIRT dan BPOM, untuk mendorong keberlanjutan ekonomi komunitas.

Perwakilan KLHK menyambut baik berbagai masukan tersebut dan menegaskan bahwa kolaborasi dengan lembaga masyarakat sipil seperti Ekososlab sangat penting dalam memperluas jangkauan pendampingan di tingkat tapak.

“Kami ingin memastikan bahwa masyarakat bukan hanya penerima izin, tetapi juga penggerak utama pengelolaan hutan yang adil, produktif, dan lestari,” ujar Priyo menutup sesi diskusi.

Pertemuan ini menjadi momentum penting dalam memperkuat sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan mitra pendamping menuju pengelolaan hutan berbasis keadilan sosial dan ekonomi hijau.