Wajah Demokrasi Hari Ini

Ditulis oleh M. Alif Akbar | 2025-10-10

Istilah demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratein yang berarti  kekuasaan. Secara etimologis, demokrasi dapat dimaknai sebagai sistem kekuasaan yang  berada di tangan rakyat, di mana mekanisme pemerintahan mengutamakan peran utama rakyat  sebagai pemilik otoritas tertinggi. Dalam sudut pandang filosofis dan sosial, demokrasi  bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat  tanpa membedakan satu dengan yang lain. Hal ini sejalan dengan konsep virtue atau kebajikan,  sebagaimana diajarkan oleh para filsuf besar seperti Plato dan Aristoteles. Gagasan mereka  menjadi fondasi dari nilai-nilai harmoni dan keseimbangan dalam tatanan pemerintahan.  Secara politis, demokrasi saat ini sering dipuja layaknya penyelamat umat manusia, khususnya  di negara-negara Barat, di mana suara rakyat dipandang setara dengan suara Tuhan. Sistem ini  menekankan dominasi kehendak mayoritas, meskipun lebih menitikberatkan pada aspek  jumlah (kuantitas) daripada mutu atau kualitas aspirasi yang disuarakan(Dedi, 2021). 

Sistem demokrasi di Indonesia mengalami proses yang sangat panjang, dimulai dari  awal mula pemerintahan Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi parlementer,  demokrasi terpimpin, dan sistem demokrasi Pancasila(Dedi, 2021). Indonesia telah mengalami  liberalisasi politik sejak kejatuhan Orde Baru dan menjalankan pemilu yang bebas dan  kompetitif, tetapi demokrasi tersebut belum sepenuhnya substantif. Pemilihan umum merupakan  wujud dari pelaksanaan demokrasi, tetapi pemilihan umum yang dilaksanakan tidak sesuai  dengan harapan. Alih-alih menjadi ruang kompetisi ide dan kebijakan, pemilu di Indonesia  kerap menjadi ajang jual-beli suara. Kandidat yang ingin menang, hampir dipastikan harus  membayar dukungan baik kepada pemilih secara langsung maupun melalui jaringan perantara  yang disebut political brokers atau tim sukses. Praktik pembelian suara (vote buying) menjadi  bagian dari strategi kampanye yang dianggap wajar oleh sebagian besar aktor politik. Selain  uang tunai, bentuk lain dari politik transaksional bisa berupa sembako, janji proyek, atau  distribusi program sosial(Aspinall dkk., 2019). Ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil  pemilu menimbulkan perpecahan, dapat diambil contoh dari beberapa kasus seperti kabupaten  pangandaran yang menolak hasil pemilu karena data pemilih tetapnya tidak sesuai dengan  jumlah hak pilih yang ada di tempat pemungutan suara, kejadian serupa banyak terjadi di  beberapa wilayah di Indonesia(Dedi, 2021).  

Demokrasi Indonesia telah menjadi demokrasi yang “dijual” di mana suara pemilih,  jabatan politik, dan kebijakan publik ditukar dengan sumber daya, baik dalam bentuk uang  tunai, program sosial, maupun keuntungan politik dan ekonomi lainnya (Aspinall dkk., 2019). Sejak diberlakukannya otonomi daerah dan pilkada langsung, muncul fenomena oligarki lokal.  Keluarga atau kelompok elite lokal memanfaatkan kekuasaan politik untuk menguasai jabatan  strategis dan menciptakan politik dinasti. Dalam banyak daerah, satu keluarga dapat menguasai  kursi bupati, DPRD, hingga jabatan birokrasi. Fenomena ini tidak hanya menghambat  demokratisasi lokal, tetapi juga memperkuat praktik klientelisme karena kekuasaan  dipertahankan dengan memanfaatkan dana publik, proyek daerah, dan bantuan sosial sebagai  alat mempertahankan loyalitas politik(Aspinall dkk., 2019).

Inilah faktor-faktor yang kemungkinan besar menyebabkan kualitas demokrasi di  Indonesia mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan dari  Economist Intelligence Unit (EIU), skor Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2024 berada  di angka 6,44 dalam skala 0 hingga 10. Angka ini mengalami penurunan dari 6,53 pada tahun  sebelumnya (2023). Secara global, posisi Indonesia menempati peringkat ke-59. Indeks yang  disusun oleh EIU ini mengkaji lima aspek utama yang merefleksikan sejauh mana prinsip - prinsip demokrasi diterapkan dalam suatu negara. Kelima aspek tersebut meliputi; proses  pemilu dan pluralisme, efektivitas pemerintahan, tingkat partisipasi politik, budaya politik, dan  kebebasan sipil (Coston, 1998). 

Dari hasil penilaian, skor tertinggi Indonesia terdapat pada  aspek proses pemilu dan pluralisme, yakni 7,92 poin, diikuti oleh partisipasi politik sebesar  7,22, fungsi pemerintahan dengan 6,79 poin, lalu kebebasan sipil yang hanya mencapai 5,29  poin, dan yang paling rendah adalah budaya politik dengan 5 poin. Dalam klasifikasinya, EIU  membagi negara-negara menjadi empat kategori berdasarkan nilai indeks tersebut: Di atas 8:  demokrasi penuh (full democracy), 6 hingga 8: demokrasi cacat (flawed democracy), 4 sampai  kurang dari 6: rezim campuran (hybrid regime), 4 atau kurang: rezim otoriter (authoritarian  regime).

Dengan capaian saat ini, Indonesia masih berada dalam kategori demokrasi cacat,  status yang sudah melekat selama lebih dari satu dekade. Puncak tertinggi indeks dalam  sepuluh tahun terakhir dicapai pada tahun 2015 dengan skor 7,03. Sejak itu, tren indeks  demokrasi mengalami fluktuasi, sempat naik di tahun 2019 dan 2021, namun tak menunjukkan  perubahan signifikan. Pada tahun 2024, penurunan skor ke 6,44 memperkuat posisi Indonesia  dalam kelompok demokrasi cacat. Negara ini telah melaksanakan pemilu yang relatif bebas  dan menjamin hak-hak sipil dasar. Namun, beberapa elemen penting demokrasi seperti  kebebasan pers, kualitas pemerintahan, serta partisipasi aktif warga negara masih tergolong  lemah dan menjadi tantangan yang belum terselesaikan (GoodStats, t.t.).

Tantangan utama terhadap demokrasi Indonesia hari ini yang bersumber dari krisis  etika dan rendahnya akuntabilitas moral para aktor dan institusi politik. Seperti yang sudah  dijelaskan diatas bahwa hadirnya oligarki dalam skala nasional maupun lokal menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik, dan pejabat cenderung memprioritaskan pengembalian modal politik mereka ketimbang pelayanan publik. Birokrasi disusupi kepentingan politik dan profesionalisme aparatur negara tergerus. Kinerja lembaga publik menjadi tidak optimal, sementara korupsi merajalela sebagai bagian dari sistem balas jasa politik. Tantangan ini menjadi kompleks ketika terelaborasikan dengan politik identitas  terutama berbasis agama. Kandidat politik membangun aliansi strategis dengan tokoh agama,  pesantren, atau organisasi keagamaan untuk memobilisasi massa. Dukungan tersebut dibalas  dengan bantuan dana, proyek, atau posisi dalam pemerintahan. Kombinasi antara politik uang  dan identitas ini menciptakan polarisasi sosial yang tajam. Praktik ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan konflik horizontal dan  mengganggu kohesi sosial(Aspinall dkk., 2019). 

Di satu sisi, Indonesia berhasil membangun sistem demokrasi formal yang cukup stabil dan  inklusif. Namun di sisi lain, demokrasi tersebut ternoda oleh praktik-praktik transaksional yang  sistemik, menjadikannya sebagai demokrasi yang dijual. meskipun demokrasi Indonesia  menghadapi banyak tantangan, masih ada ruang untuk perbaikan. Dengan membangun  partisipasi warga yang sadar, memperkuat institusi negara, dan mendorong partai untuk  menjadi lebih demokratis secara internal, demokrasi Indonesia bisa menjadi lebih sehat, adil,  dan bertanggung jawab di masa depan. 

Referensi  

Aspinall, E., Berenschot, W., & JSTOR (Organization). (2019). Democracy for sale:  Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell University Press. Coston, J. M. (1998). A Model and Typology of Government-NGO Relationships. Nonprofit  and Voluntary Sector Quarterly, 27(3), 358–382.  

https://doi.org/10.1177/0899764098273006 

Dedi, A. (2021). IMPLEMENTASI PRINSIP- PRINSIP DEMOKRASI DI INDONESIA. 7. GoodStats. (t.t.). Indeks Demokrasi Indonesia Turun, Jadi Posisi Ke-4 ASEAN. GoodStats.  Diambil 16 Juni 2025, dari https://goodstats.id/article/indeks-demokrasi-indonesia turun-jadi-posisi-ke-4-asean-IeyD9

Rekomendasi bahan bacan  

• Buku 

1. Vedi R. Hadiz & Richard Robison - Reorganising Power in Indonesia: The  Politics of Oligarchy in an Age of Markets 

2. Edward Aspinall & Marcus Mietzner (eds.) - Democracy for Sale: Elections,  Clientelism, and the State in Indonesia 

3. Yasraf Amir Piliang - Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas • Artikel Ilmiah  

1. Vedi R. Hadiz (2017). “Imagine All the People? Mobilising Islamic Populism  for Right-Wing Politics in Indonesia.” Journal of Contemporary Asia 

2. Mietzner, Marcus (2015). “Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise,  Democracy, and Political Contestation in Indonesia.” Policy Studies 

3. Aspinall, Edward (2013). “Popular Agency and Interests in Indonesia’s  Democratic Transition.” Indonesia (95), 101–121. 

• Artikel Populer/Opini Publik 

1. Todung Mulya Lubis “Demokrasi Kita dalam Bahaya” (Kompas, 2020) 2. Abdul Gaffar Karim “Demokrasi Indonesia: Banyak Pemilu, Minim  Demokrasi” (The Conversation Indonesia) 

3. Saiful Mujani “Demokrasi dan Otoritarianisme Baru” (SAFEnet & SMRC  Insight) 

• Dokumen Resmi  

1. Indeks Demokrasi Indonesia (BPS - Badan Pusat Statistik) 

2. Freedom House - Freedom in the World Report (Indonesia Section) 3. The Economist Intelligence Unit - Democracy Index Report 

• Visualisasi 

1. Film Dokumenter Sexy Killers